32. SANGAT BERHARGA

1.1K 50 0
                                    

Setelah Anne dan Renata kembali berdamai. Semenjak itu juga Renata kembali menebar keceriaannya. Tidak ada kata sedih di kamusnya. Raza pun juga senang karena tidak ada perselisihan antara keluarganya.

"Dari kemarin-kemarin kek baikkannya, jadi 'kan kamu nggak usah nangis-nangis kayak gitu."

Rena masih asyik dengan catokkan di tangannya. Ia hanya berdeham menanggapi Raza. Walaupun sebenarnya ia tidak fokus Raza berbicara apa.

Raza sadar kalau ucapannya tidak digubris oleh Rena, ia tahu kalau Rena sedang asyik sama dunianya, ia tidak melihat dunia yang lain. Bukan berarti dunia gaib.

Rena yang sedang asyik bersenandung kecil sambil mengurus rambutnya, tak sadar kalau Raza sedang memerhatikannya dengan sinis dari kaca riasnya.

"Ren, kacang mahal tahu."

Tangan Rena masih sibuk menggulung helaian rambutnya. "Siapa bilang mahal? Murah tahu."

Begini rasanya jika perempuan sudah bertemu dengan apa yang membuatnya bahagia. Seperti Rena yang sikap tomboinya mulai menghilang semenjak ia menikah dengan Raza.

Bukan hanya perlengkapan untuk rambut. Hobi Rena sekarang adalah mencari-cari perlengkapan make upnya. Walaupun yang ia pakai hanya bedak, lipstick, dan blush on saja. Tapi ia sangat suka mengoleksinya.

"Rena, ih! Besok-besok nggak aku nemenin beli alat make up."

"Yaudah, aku beli sendiri, atau aku beli sama Adel."

Kalau Rena tidak pernah marah-marah kepadanya, ingin rasanya Raza langsung menyemburnya dengan omelan Raza. Sayangnya, Rena lebih galak daripada Raza.

Raza langsung menyerah begitu saja, karena ia selalu kalah kalau adu mulut dengan Rena. Tapi tunggu, hari ini Rena atau pun dirinya tidak ada jadwal kuliah, lalu Rena akan pergi ke mana?

"Kamu mau ke mana, Ren?"

Setelah selesai dengan urusan rambutnya, Rena beralih ke wajahnya. ia harus memakai sedikit polesan make up agar wajahnya terlihat sedikit segar. walaupun tidak terlalu tebal memakai riasannya.

"Mau jalan sama Adel."

Raza mengernyitkan dahinya, yang benar saja pagi-pagi buta ini ia mau jalan bersama Adel. bahkan mall saja belum buka. Dan yang anehnya lagi, apakah Rena tidak menyadari kalau beberapa menit yang lalu Adel mengirimkannya beberapa pesan.

Raza mengambil ponsel Rena yang berada di ujung ranjang. "Nih, tadi ada chat dari Adel." Raza menyodorkan ponsel dengan silikon bergambar mawar hitam.

Adel: Sorry banget ya, Ren. Tiba-tiba gue diajak pergi nyokap gue buat ngelayat om gue yang meninggal. Maaf banget ya.

Raut wajah Rena yang tadinya ceria berubah menjadi masam. Walaupun wajahnya dipoles menggunakan make up tetap tidak bisa merubah wajahnya yang tiba-tiba menjadi cemberut. Rena langsung berhenti memoles wajahnya. Moodnya sudah berantakan tak karuan.

Rena: iya, Del, nggak apa-apa.

Adel: Oh iya, Ren. Belakangan ini lo harus hati-hati ya.

Rena tidak mengerti apa maksud pesan yang dikirimkan oleh Adel. Pesan itu bermaksud mengancamnya atau justru melindunginya.

Rena: maksud lo?

Adel: gue nggak bisa ngasih tau lo sekarang, pokoknya lo jangan jauh-jauh dari Raza ya, Ren.

Raza memerhatikan Rena dengan tatapan bingungnya. Pasalnya, wajahnya langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Rena langsung berhenti memoles wajahnya. Ponselnya langsung dimatikan begitu saja. Saat ia ingin mengambil pembersih make up nya. Tangan Raza meraih tangan Rena.

"Kamu kenapa? Kok cemberut gitu?" Tanyanya, sambil melihat bayangan wajah Rena di cermin.

Rena menggeleng. Tentu saja ia berbohong. Rena paling benci kalau sama orang yang sudah mempunyai janji, tapi langsung dibatalkan begitu saja. Contohnya Adel.

 Raza beralih menjadi di depan Rena, dengan menggeser tubuh Rena menjadi menyamping. "Udah pinter bohong, kamu ya! Bilang sama aku, kamu kenapa? Diapain sama Adel?"

"Adel batalin janji aku, Za." Katanya lirih. 

Raza tersenyum kikuk. Walaupun baru beberapa bulan hidup dengan Rena, tapi pria itu sudah mengetahui betul bagaimana sikap-sikap Rena kalau sedang bete. Tapi, sekarang sifat pemarah Rena sudah berkurang karena Raza. Raza selalu bilang kalau sedang hamil jangan terlalu emosi, takutnya nanti jabang bayinya akan menjadi pemarah seperti ibunya. Tentunya Raza tidak mau itu terjadi.

"Oke, kalau jalan sama aku, kamu mau?" Tanyanya sambil tersenyum manis pada Rena. 

Pada saat seperti ini, kalau Raza ikutan bete karena Rena yang tidak mood, bisa-bisa Rena akan kembali mengeluarkan sifat pemarahnya. Karena prinsip Raza setelah bersama Rena, kalau sama-sama mengikuti ego, tidak akan ada yang bisa mengalahkan ego tersebut.

"Rena," panggilnya. "Aku nggak nawarin dua kali. Kalau kamu nggak mau, aku mau ke kampus aja."

Saat Raza ingin bangun dari duduknya, Rena menahan badan Raza untuk bangun dan akan pergi meninggalkan Rena. Menyadari itu, Raza langsung tersenyum.

"Gitu dong," mata Raza mengedip sebelah. "Ayo kita jalan-jalan."

"Tapi, Za, make up aku udah berantakan."

"Mau kayak gimana pun, kamu tetap yang paling cantik buat aku."

Rena bangkit dari tempat duduknya. Kedua tangan Rena meraih leher Raza yang tinggi, dan dipeluknya dengan erat suaminya itu. Raza pun membalas pelukan Rena dengan melingkarkan tangannya di pinggang Rena.

"Makasih ya, Za, cuma kamu sama mami yang paling sabar sama aku. Aku kira selama kita nikah, kamu nggak akan kuat ngehadapin aku yang selalu bete."

Raza mencium leher Rena dengan lembut. "Iya, Rena. Walaupun kamu memang ngeselinnya minta ampun, tapi aku tetap sayang sama kamu."

Rena langsung melepaskan pelukannya, dan menjewer telinga Raza. Membuat pria itu meringis.

"Rena! Baru romantis-romantisan, eh kamu udah bringas kayak gini!" Raza memengangi telinganya yang masih ditarik oleh Rena. "Kalau mau bringas, di kasur aja, jangan telinga aku yang jadi korbannya." 

Mendengar ucapan Raza yang seperti itu, Rena tambah semangat untuk menarik telinga Raza semakin kencang. "Raza! Aku suruh tidur di luar baru tau rasa kamu!" 

Selang beberapa detik, Rena melepaskan tarikannya. Tangan Raza memegangi telinganya yang cukup memerah akibat ulah Rena tersebut. Sedangkan Rena, ia mengambil tas selempang pemberian papinya saat beliau pergi ke Jepang.

"Tas kamu itu mulu, Ren? Kamu nggak mau beli tas baru?" Tanya Raza, yang rupanya memerhatikan Rena yang selalu memakai tas merah itu.

Tangan Rena mengusap tas kecilnya yang berbahan kulit itu. Matanya menatap lekat-lekat tas kecil tersebut.  "Ini tas pemberian papi, Za. Hanya ini yang selalu meningatkan aku sama papi."

Raza bungkam. Ia menatap wajah Rena dengan tatapan sendunya. Raza merasa bersalah telah melontarkan pertanyaan yang mengingatkan Rena pada papinya. Apalagi yang menyebabkan kematian papinya adalah kakak kandung dari suaminya itu.

Reflek, Raza langsung memeluk istrinya yang sedang menahan tangisnya tersebut. Rena bisa merasakan kehangatan yang diberikan oleh Raza setiap saat. Seperti kehangatan yang telah diberikan oleh papinya bertahun-tahun lalu. 

"Rena, maafin aku, aku nggak tahu."

Rena menangis kecil, dan menggeleng pelan. "Nggak, Raza. Kamu, mami, semuanya itu berharga buat aku. Walaupun kamu juga rese, tapi kamu berharga banget, aku bisa merasakan kehangatan yang kamu berikan. Sama seperti papi dulu. Raza, jangan pergi ya."

***

Razarena | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang