35. PENERORAN

903 45 0
                                    

Alhasil jalan-jalannya hari ini ke Bandung bisa dikatakan gagal 100 persen. Selain Rena yang sudah bete dengan situasi macet, mendapatkan pesan dari seseorang yang mungkin akan mencelakakan Rena, membuat Raza panik bukan main.

Raza sibuk dengan kopernya. Sedangkan Rena sibuk memerhatikan Raza yang sedang sibuk sendiri. "Za, besok aja pulangnya. Ini sudah malam banget, malah bahaya kalau kita pulang," bujuk Rena.

"Kalau nanti yang neror kamu ke sini gimana?" Tanyanya khawatir.

Apa yang dikatakan oleh Raza memang tidak ada salahnya, begitupun dengan apa yang dikatakan oleh Rena. Kalau pulang sekarang pun tidak akan ada jaminan kalau orang yang neror Rena itu akan berhenti.

Rena bangkit, lalu menghampiri Raza yang sedang duduk di ranjang. "Bahaya juga kalau pulang sekarang, Za, apalagi kamu belum tidur."

Raza menyenderkan kepalanya di bahu Rena. Entah kenapa Raza selalu menjadi seperti ini kalau ada Rena di sisinya. "Ren, aku takut."

"Kita terus berdoa aja ya, Za, Tuhan pasti akan kasih kita yang terbaik," ucap Rena, berusaha menenangkan Raza.

"Aku takut kamu kenapa-kenapa. Apalagi ...." Raza mengelus perut Rena yang semakin membesar. "Aku takut."

Rena tersenyum saat mengetahui kalau orang yang paling ia benci, sekarang menjadi orang yang paling Rena sayang setelah orang tuanya. "It's okay, kita jalanin ini sama-sama. Palingan dia cuma iseng atau gabut?"

Raza berdecak. "Iseng apanya. Kalau dia iseng, mana mungkin dia tahu kalau kita lagi di Bandung, Rena."

"Makanya kamu jangan mikir macem-macem!" Tukas Rena sambil terkekeh pelan.

"Kamu mah bercanda mulu, aku lagi serius!" Rena hanya tersenyum mendengar tanggapan Raza.

Tak lama ponselnya berdering. Rena segera mengambil di nakas samping ranjangnya.

"Akh, nomor itu lagi!" Gumamnya. Raza langsung merebut ponsel yang sedang Rena pegang.

Rena semptat bingung, mau apa Raza mengambil ponselnya? Akh, Rena terlalu bodoh,tentu saja Raza akan memaki-maki orang yang telah membuat mereka berdua takut.

Raza menekan tombol call. "Anjing! Kok di telepon nggak diangkat sih?! Pengecut!"

"Kamu bodoh!"

"Kok aku sih?! Aku lagi belain kamu padahal!"

"Mana mungkin dia mau angkat telepon kamu, yang ada kedoknya bakal ketahuan!"

Raza berpikir sejenak. Dikiranya setelah sekolah lama dengan mengambil jurusan dokter, akan membuat otaknya kembali normal. Ternyata tidak.

"Terus kita harus apa?" Tanya Raza, yang sepertinya mulai menyerah dengan keadaan.

"Kita terus berdoa dan terus jalanin aja dulu. Sekarang tidur dulu ya, besok pagi kita kan pulang."

***

Merasa baju dan perlengkapan lainnya sudah rapi dikemas di dalam tas, Raza buru-buru menyuruh Rena agar lebih cepat berkemas. Pagi ini memang harusnya bukan jadwal check out, tetapi karena Raza terlalu takut kalau Rena akan kenapa-kenapa, itu alasannya mengapa Raza mempercepat jadwal pulangnya. Lagian besok senin Raza sudah harus untuk praktik di salah satu rumah sakit.

Rena memoles wajahnya dengan sedikit bedak. Sudah menjadi kebiasaan Rena untuk memoles wajahnya dengan bedak agar wajahnya tidak terlalu pucat. Raza tersenyum saat melihat tangan Rena yang sedang lihai memakaikan riasannya di wajahnya. Terkesan natural, membuat wajah Rena tambah cantik alami.

Razarena | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang