Setelah berdebat cukup lama dengan Raza karena masalah mau menginap di hotel atau di villa, akhirnya Raza menuruti kemauan Rena yang mau menginap di hotel. Kalau mereka menginap di villa, menurut Rena itu terlalu besar karena mereka hanya berdua.
Sore ini lalu lintas depan hotel mereka cukup padat. Membuat Rena yang tadinya ingin jalan-jalan sore, langsung membatalkan keinginannya.
Rena kira setelah sampai di sini, ia tidak akan bertemu lagi dengan kemacetan seperti di Jakarta, nyatanya tidak.
"Za, makan malemnya nanti aja gimana? Habis magrib deh. Jadi kamu sholat dulu, kalau sekarang juga kayaknya nanggung deh." Rena melirik arloji yang melingkar di tangannya. "Sepuluh menit lagi. Yuk ke kamar dulu."
Namanya bukan Raza kalau ia tidak nurut dengan apa yang Rena katakan. Ia tidak peduli kalau Raza dibilang bucin, penakut atau suami-suami takut isteri, yang penting sekarang Raza menyayangi Rena, begitupun sebaliknya.
Pas saat mereka masuk ke dalam kamar, suara azan langsung berkumandang. Raza dan Rea bergantian masuk ke dalam kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Perbedaan setelah dan sebelum nikah adalah saat Rena sedang menjalankan ibadah, sekarang ada yang mengimaminya. Saat sebelum mereka nikah, Rena selalu ibadah sendiri, atau bersama maminya.
Dua sejoli itu sangat khusyuk menjalankan ibadahnya. Sebelum menikah dengan Rena, Raza selalu shalat bolong-bolong, atau bisa dikatakan kalau Raza jarang shalat. Apalagi saat ia masih serinh main di 420 club. Setelah rakaat terakhir dan salam, Rena langsung mencium punggung tangan Raza. Menurut Rena, ini hal yang paling romantis yang pernah ia lakukan seumur hidupnya saat bersama Raza.
Setelah mereka selesai ibadah, mereka langsung turun dari hotel dan berjalan menuju parkiran untuk mengambil mobil Raza. Tapi Rena tiba-tiba melarang Raza yang ingin memakai mobilnya.
"Kita naik kendaraan umum aja ya?" Ajak Rena.
Raza sempat bingung dengan Rena, tidak biasanya Rena seperti ini. Apa ini efek ibadah barusan?
Mata Raza melirik ke arah jalanan yang masi macet seperti tadi. "Itu masih macet banget. Nggak jalan malahan."
Rena sedikit menghela napasnya. "Iya udah, naik mobil kamu," ucap Rena sedikit sebal. Rena melangkah mengikuti langka Raza. "Dasar kepala batu!" Gumamnya pelan, tapi masih bisa dijangkau ke telinga Raza.
"Aku nggak budek loh."
***
Dugaan Rena selama ini salah. Bandung tidak seindah yang biasanya Rena baca di novel-novel. Ternyata sama seperti Jakarta. Rena hanya menemukan macet, macet, dan macet di mana-mana. Tangan Rena memijit pelipisnya yang sedikit pusing karena mobilnya sudah hampir setengah jam tidak jalan.
"Kamu sih keras kepala banget, aku bilang jangan bawa mobil, yang ada nanti capek sendiri."
Untungnya Raza sudah kebal dengan Rena yang sedari tadi ngedumel sendiri karena tidak kunjung jalan juga. Berbagai macam kata-kata keluar dari mulu Rena, mulai dari menjelekkan Raza, bilang kalau di Bandung sama saja, dan masih banyak keluhan yang keluar dari mulut Rena.
"Za, aku capek sendiri kalau gini."
"Ih! Itu mobil nggak bisa sabar dikit apa?! Udah tahu macet, masih aja nyelak."
"Klakson mulu deh, berisik banget ih. Untung kuping gue nggak budek."
Raza tidak marah sama sekali dengan Rena. Ia justru terkekeh pelan saat Rena tidak henti-hentinya ngoceh. "Kamu mau teriak kayak gimana, mereka juga nggak denger."
"Kalo kamu nggak ngajak aku jalan malem-malem, aku sekarang udah duduk di sofa sambil minum kopi sambil nonton dunia lain deh, Za."
Raza mengusap kepala Rena pelan. "Sabar, sayang, jangan marah-marah mulu. Nanti cepat tua."
Mata Rena langsung melotot ke arah Raza. "Kamu bilang aku tua?!"
"Ih, sensi banget kayak lagi PMS. Kalau belanja mau?"
"Nggak di Jakarta, di Bandung, ke mall mulu. Mending kita di Jakarta aja, Za. Aneh kamu deh."
Salah lagi gue.
Rena menyandarkan kepalanya di bahu Raza. Entah kenapa realitanya sekarang sangat jauh dari ekspektasi yang Rena sudah pikirkan sejak lama.
Setelah menempuh perjalanan yang dekat tetapi macet, akhirnya Raza membawa Rena ke kedai makanan yang menjual berbagai makan macam makanan dari pelosok daerah. Awalnya Rena tidak mau, mungkin karena moodnya sedang tidak baik, tapi karena perut Raza sudah konser, akhirnya Rena menuruti kemauan Raza.
Tangan Raza menggandeng jari-jari Rena sambil menuju masuk ke dalam kedai. Awalnya Rena tidak mau digandeng oleh Raza, tapi karena Raza langsung memaksanya, mau tidak mau Rena tidak bisa mengelak.
"Mau makan apa?" Tanya Raza, sambil mengitari berbagai macam kedai yang berbeda-beda jenis makanannya.
Rena membanting tasnya di atas meja, membuat Raza sedikit terkejut. "Astaga, Rena. Kamu kenapa sih dari tadi marah-marah mulu? Nggak kasihan sama bayi kamu?"
"Aku mau makan sup buntut, kue cubit, sup iga, nasi goreng--"
"Kamu laper atau rakus sih?" Tanya Raza heran.
Mata Rena kontan melotot karena kembali dilarang oleh Raza. "KAMU NIH?! TINGGAL BELIIN AJA APA SUSAHNYA SIH?!"
Raza menghela napasnya. Sepertinya jelang Rena mau lahiran, Raza harus menahan amarahnya dan tentunya harus menyediakan lebih banyak stok kesabarannya. Mungkin kalau sudah sampai di Jakarta, Raza akan terus curhat kepada Hani sikap Rena hari ini.
"Kamu tunggu sebentar ya, aku pesenin dulu."
Sambil menunggu Raza dan makanannya datang, Rena mengeluarkan ponselnya dari tas yang ia bawa.
Matanya menyipit saat mendapatkan pesan yang sama sekali ia tidak tahu siapa pengirimnya. Nomornya pun sepertinya sangat jarang digunakan.
0899989898: enak ya jalan-jalannya. Makanannya dikit lagi dateng tuh haha. Have fun, bitch!
Rena meremas dada kirinya yang sedikit nyeri. Raza--ia butuh Raza sekarang juga. Siapa juga yang berani mengirimkan SMS seperti ini. Sekarng otaknya saja sudah tidak bisa menebak siapa pelaku peneror ini.
Setelah Raza datang, Rena langsung memeluk Raza dengan erat. Raza sendiri bingung, kenapa Rena yang tadinya marah-marah, tiba-tiba langsung nangis seperti ini.
Raza mengusap punggung Rena agar Rena sedikit tenang. "Duduk dulu, yuk," ucap Raza pelan. Tangan kirinya merangkul dan menuntun Rena agar kembali duduk ke tempat semula.
Raza menyodorkan teh hangat yang baru saja disajikan oleh pramusaji. "Minum dulu, nanti kamu bisa cerita sama aku."
Rena menuruti apa kata Raza. Setelah semuanya terasa lebih lega, Rena kembali membuka ponselnya dan menyodorkan pesan yang berhasil membuat Rena langsung sakit hati.
Kedua telapak tangan Rena menutup wajahnya. Air matanya masih terus mengalir walaupun tidak deras. Ia terus mengumpat di dalam hatinya. Entah kenapa walaupun sekarang Raza berada di sisinya, perasaan takut itu terus menghantui dirinya.
Dahi Raza mengkerut saat selesai membaca satu pesan yang sangat horror itu. Tangannya mengepal, tanpa sengaja ia menggebrak meja, dan berhasil membuat perhatian orang sekitarnya.
"Persetan! Siapa yang berani ngirimin ini, hah?!" Teriaknya. Wajahnya berubah menjadi hangat saat ia melihat kalau Rena sedang ketakutan sekarang. "Rena, setelah makannya datang, kita balik ke hotel, dan langsung pulang ke Jakarta."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Razarena | ✔
Romance[SELESAI] Tidak semua yang terlihat baik itu baik. Dan belum tentu yang terlihat buruk itu buruk. Ps: tidak akan direvisi. ✔post: 13 July 2017 ✔finish: 27 Mei 2018