[1] New Home

86.7K 3.6K 220
                                    

“Selamat datang di tempat tinggal baru, Thalia!”

Senyum manis di wajah gadis berambut sebahu itu mengiringinya masuk ke dalam rumah milik Fahri. Paman sekaligus wali baru selama dirinya akan tinggal di sini. Keletihannya setelah menempuh perjalanan dalam waktu semalam terbayarkan setelah melihat rumah yang sudah terasa familier di mata.

“Ini akan jadi kamar kamu. Pakaian maupun barang-barang kamu bisa disimpan di sini, kamu juga bisa menata ulang sesuai keinginan kamu. Anggap saja ini kamar sendiri,” ucap Fahri sembari meletakkan koper sekaligus kardus bawaan Thalia di dekat pintu kamar yang sudah dia siapkan untuk sang keponakan. “Kamu pasti belum sarapan. Om buatkan teh hangat dan sedikit camilan, mau?”

“Yang ada aja, Om.” Thalia tersenyum menyambut anggukan Fahri sebelum pria itu keluar dari kamar. Meninggalkan dirinya untuk menelisik seluruh sudut kamar ini.

Thalia masih sangat ingat bahwa ini kamar mendiang neneknya. Dulu dia akan tidur di sini bersama sang nenek jika sedang berlibur kemari. Namun semenjak kepergian beliau, Fahri menata ulang dekorasi kamar ini dan membiarkannya kosong untuk waktu cukup lama. Hingga kini Thalia lah yang akan menempati selama dia menempuh pendidikan kuliah di sini.

“Om Fahri pasti kesepian setelah Nenek nggak ada,”

Thalia jelas tahu bahwa selama ini Fahri lah yang merawat satu-satunya orangtua yang bertahan hingga di usia senjanya. Semenjak kepergian beliau, keluarga merelakan Fahri untuk mendapat hak penuh akan rumah ini meski pria itu tetap menganggap ini adalah rumah milik bersama.

Merupakan sebuah keberuntungan Thalia bisa diterima di salah satu universitas negeri di provinsi ini setelah mengikuti ujian serentak masuk PTN. Fahri yang mendapat kabar gembira itu langsung menawarkan Thalia untuk tinggal di sini. Tentu saja Fatya—mama Thalia—yang sempat kebingungan karena harus melepas putrinya itu mengizinkan seratus persen agar Thalia dititipkan oleh adiknya yang masih melajang.

Pria yang sudah memasuki kepala tiga itu masih betah sendiri. Belum terlihat calon wanita yang akan dijadikan pasangan hidupnya. Padahal profesinya sebagai guru SMA sudah tergolong mapan berkat ketenarannya akan keberhasilan dalam mendidik murid-murid ternakal sekalipun. Jika biasanya calon guru akan mencari sekolah mana yang akan menampungnya, Fahri justru yang dicari banyak sekolah ternama untuk dijadikannya sebagai karyawan tetap. Dan kini ia merasa nyaman mendidik di SMA tak jauh dari rumahnya ini.

“Thalia, sarapannya udah siap! Ayo makan!”

“Iya, Om!” Thalia pun keluar dari kamar. Tepat setelah ia menutup pintu, baru ia sadari ada pintu kamar lagi tak jauh dari tempatnya berdiri. Tertempel sebuah papan kayu berukir deretan huruf menyusun sebuah nama yang membuat Thalia mengernyit.

Megan's privacy.

“Megan?” setahu Thalia tidak ada kerabat yang menyandang nama itu. Dan lagi, Fahri tidak mengatakan apapun soal siapa yang tinggal bersamanya sebelum Thalia. Bukankah Fahri tinggal seorang diri?

Bahkan pintu kamar itu dalam kondisi terkunci saat Thalia mencoba ingin membukanya. Padahal ketika dia masih rajin berlibur kemari, kamar ini akan ditempati oleh kedua orangtuanya atau Fahri lah yang akan mengalah untuk tidur di sini.

“Om harus berangkat ke sekolah sebentar lagi. Sarapannya udah ada di meja makan. Kamu habiskan, ya.”

Suara Fahri mengejutkan Thalia. Pria itu keluar dari dapur dan segera mengambil jas abu-abu yang terselampir di sofa ruang tengah. Nampaknya paman Thalia itu tengah mengejar waktu karena kembali melangkah cepat ke kamarnya yang tak jauh dari ruang tamu.

“Om tinggalin kamu sendiri, nggak apa-apa, 'kan? Kamu kunci aja pintu depan. Kalau ada orang bertamu tapi nggak kamu kenal, lebih baik nggak usah kamu bukain,” tutur Fahri seraya memasang kancing jasnya sebelum menyisir rambut lebat hitamnya.

S P L E N D I DTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang