[31] Get Caught!

21.5K 1.9K 282
                                    

“LOH, Megan, Lia kenapa?!”

Fahri terperanjat melihat muridnya itu masuk dengan menggendong keponakannya yang tampak lecet di beberapa bagian. Tidak hanya Fahri, Rosa yang baru datang juga langsung berdiri dari sofa  terkaget-kaget dan ikut mengekori mereka ke ruang tengah. Melihat Thalia didudukkan di sana.

“Ketabrak motor di depan komplek, Pak.”

“KOK BISA?!” Fahri melotot. “Kamu ngapain emangnya sampai bisa ketabrak, Lia?! Ya, ampun! Megan, cepetan ambilin kotak obatnya!”

Atha sudah melesat ke dapur dan segera kembali begitu seruan panik Fahri menitahnya. Fahri segera membuka kotak obat bawaan Atha, namun Atha lebih dulu bergerak cepat mengambil segala peralatan yang dibutuhkan. Memulainya dari membersihkan tangan Thalia yang tampak memerah dengan gores-gores halus di sana, kemudian sikutnya yang mengeluarkan darah dan hampir mengering.

“Kronologisnya gimana sampai kamu kayak gini, Thalia?” Rosa tampak meringis melihat beberapa luka di tangan Thalia, mendesis khawatir.

“Lia nggak lihat kanan-kiri waktu mau nyeberang.” Thalia menjawab malu-malu, juga menahan perih berkat Atha mulai membubuhkan obat. “Motornya nabrak ban depan sepeda. Jadi penyok, terus, stangnya kayaknya jadi miring.”

“Terus sepedanya di mana sekarang? Kamu pulang digendong Megan dari depan?”

Pertanyaan Fahri membuat Thalia melirik Atha. Lelaki itu lebih tertarik mengobati luka-lukanya dibanding membantunya menjawab untuk yang satu ini.

“Ditinggal di depan, sama belanjaan Om juga. Lia nggak tau nasibnya gimana, soalnya Atha udah keburu bawa Lia kemari.” Lalu Thalia segera memalingkan wajah karena Atha akhirnya menatapnya.

“Ada sama teman-teman saya di sana, Pak. Nanti saya mintain tolong mereka buat bawa sepedanya ke bengkel dulu dan anterin belanjaannya kemari.”

“Udah mubazir karena kamu tendangin tadi! Ngapain dibawa lagi ke sini?” tukas Thalia sarkas.

“Mubazir tinggal beli lagi. Pake duit gue kalo lo khawatirin soal itu.”

“Tapi tetap aja, uang Om Fahri hangus nggak ada hasil karena kelakuan kamu! Harusnya itu masih bisa dibawa pulang!”

“Itu nggak bakal kejadian kalo lo mau nurut. Siapa yang nyuruh ngeyel sok-sok’an mau pulang sendiri padahal udah pincang-pincang?”

“Aku 'kan emang masih bisa jalan sendiri! Aku nggak mau ngerepotin orang lain!”

“Kelakuan lo yang kayak gitu justru makin ngerepotin, tau?”

“Kamu tuh—“

“Eh, udah, udah! Ini kenapa jadi berantem, sih?” sergah Fahri menengahi. “Nggak perlu permasalahin soal belanjaan. Om malah udah nggak mikirin itu begitu lihat kamu lecet-lecet begini. Megan ada benarnya bawa kamu langsung pulang. Kamu memang harus cepat-cepat diobatin, Lia. Lihat ini, ya ampun.”

Fahri meringis kala menyeka kaki Thalia yang agak lebam. Keponakannya itu juga merintih pelan kesakitan. Fahri pun menengok Atha di sebelahnya, tampak berpikir sejenak.

“Tapi bukannya kamu bawa motor? Kenapa nggak nganterin Lia pulang pakai motor kamu?”

Thalia melihat Atha menghentikan kegiatannya. Mata lelaki itu tampak bergerak-gerak sebelum mendengak membalas tatapan Fahri.

“Nggak kepikiran, Pak. Lagian Thalia udah keburu kabur tadi. Saya mana mikirin ada motor kalau harus ngejar dia yang mulai keras kepala?”

“Aku nggak minta kamu ngejar, kok!”

S P L E N D I DTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang