[48] You Have Me

18.7K 1.8K 238
                                    

“Because we’re together, I’m able to smile. And because it’s you, I’m able to cry.”

HAL pertama yang dilihat Thalia kala membuka mata adalah sinar matahari yang menyorot dari jendela, menyadarkannya bahwa ia terbaring menghadap tepat ke sana, dan mendapati keheningan yang begitu tenang di ruangan yang sudah berbeda dari yang terakhir dia lihat.

Hanya ada satu tempat tidur yang jelas tengah ia tempati di ruangan ini. Menebak bahwa dirinya sudah dipindahkan ke ruang rawat inap semalam. Matanya terus bergerak bersama tubuhnya yang mengubah posisi. Dan mulai merasakan ngilu di tangan kirinya yang tengah diinfus, biasanya cairan berwarna kuning yang masuk ke dalam tubuhnya kini adalah penyebabnya.

 Dan mulai merasakan ngilu di tangan kirinya yang tengah diinfus, biasanya cairan berwarna kuning yang masuk ke dalam tubuhnya kini adalah penyebabnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Barulah Thalia menemukan adanya seseorang di sofa sudut ruang ini. Atha terlelap di sana, mengisi penuh sofa berkapasitas tiga orang itu sampai kaki-kaki panjangnya harus ditekuk. Hanya dengan menemukan keberadaannya, rasa hangat itu mulai menyusup ke dalam hati Thalia. Menemukan kenyataan bahwa lelaki itu ada menemaninya.

Pintu kamar mandi ruangan ini tiba-tiba terbuka, menampakkan seorang wanita keluar dari sana dan ikut mendapati dirinya. Senyum lebar segera terpatri di bibirnya, membuat Thalia nyaris tak percaya.

“Mama?” berikutnya Thalia mendapat pelukan dari Fatya. Segera ia balas dengan eratnya begitu sadar ini adalah nyata.
Mamanya memang ada di sini. Menjenguknya. Menyembuhkan rasa rindunya.

“Gimana kabar kamu, Sayang? Merasa baik?”

Thalia mengangguk. Ini pun berkat melihat Fatya yang tersenyum lembut padanya sekarang. Hatinya semakin membaik merasakan usapan lembut dari tangan sang mama.

“Mama kapan datang?”

“Tadi. Papa baru dapat tiket pesawat pagi karena jadwal malam udah penuh. Mama sampai nggak bisa tidur karena terus mikirin kamu.”

Thalia menatap bersalah. Terlihat sekali sorot khawatir di mata Fatya hingga kini. Membuat pandangannya kembali mengabur akan rasa ingin menangis kembali timbul.

“Lia udah ngerepotin Mama sama Papa, ya.”

Fatya menggeleng dibarengi senyum lembut menenangkan. “Kamu pasti sangat ketakutan semalam. Maafin Mama, ya. Mama nggak ada waktu kamu lagi membutuhkan.”

Thalia kembali memeluk Fatya. Melepas beban yang kembali membayanginya di dekapan mamanya. “Kenapa Lia harus begini lagi, Ma? Bukannya dokter dulu bilang kalau Lia udah sembuh? Harusnya Lia bisa hadapin ini, tapi ... Lia bahkan ketakutan cuma dengan lihat dia di dalam mimpi. Lia nggak tau kapan ini berakhir. Lia benar-benar takut.”

Fatya mendesis lembut mencoba menenangkan. “Mama minta maaf karena belum kasih kamu yang terbaik untuk bisa sembuh, Sayang.” Fatya kemudian melepas pelukan, merengkuh wajah putrinya yang sudah basah oleh linangan air mata. “Mama akan cari dokter yang bisa benar-benar nyembuhin kamu nanti.”

S P L E N D I DTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang