[26] Trauma

20.7K 1.9K 201
                                    

"Even I don't know where is the end of this trauma
I need a hand to hold..."


HARI itu, merupakan hari terakhir Ujian Nasional diadakan. Sama seperti murid lainnya, Thalia mengembuskan napas lega luar biasa karena berhasil melewati rintangan penentu kelulusannya. Kini yang dia perlukan adalah bertemu dengan teman satu-satunya yang ternyata berada di bawah sana, sedang melangkah menuju gedung baru dan sempat melongok ke atas namun sepertinya tidak melihat lambaian tangan Thalia.

Hanya dengusan geli keluar dari mulut Thalia sebelum berbalik menuruni tangga. Rambut panjangnya yang hanya diikat setengah berterbangan lembut seiring dengan lari-lari kecilnya. Senyum yang terpatri di bibirnya semakin mengembang karena tidak disangka akan menemukan sosok lain yang juga dirindukannya.

"Julian!" panggil Thalia. Namun suaranya tidak cukup untuk menghentikan langkah lelaki itu ke tujuan sama. Jadi Thalia mempercepat larinya.

Jantungnya sudah berdebar ingin segera menemui sang kekasih. Setelah seminggu ini dia lebih disibukkan dengan belajar dan belajar, waktu temunya dengan Julian terbilang sangat sebentar setiap harinya. Dia berharap di hari ini bisa menghabiskan waktu lebih lama dengan Julian.

Thalia memasuki perpustakaan setelah melihat lelaki itu masuk ke sana. Masih dengan lengkungan manis tersemat di bibir, langkahnya pelan-pelan melewati tiap rak buku yang menjulang tinggi. Hingga menemukan sayup-sayup suara di tengah kesunyian, mengantar kedua kakinya untuk mendekat lalu berhenti di dekat salah satu rak.

"Kamu kok ngajakin ketemuan di sini, sih? Nanti ketahuan, gimana?"

"Nggak bakal. Lagian cuma sebentar. Aku kangen."

"Kangen aku? Bukannya pacar kamu?"

"Kamu. Aku kangen kamu."

Senyum di bibir Thalia sudah menghilang. Selanjutnya ia tidak lagi mendengar jelas percakapaan itu, seperti berdengung di telinga. Satu tangannya dengan gemetar menyentuh sisi rak yang menjadi penghalau, maju perlahan-lahan hingga pandangannya yang tidak siap menemukan dua orang yang amat dikenalnya di sudut sana.

Saling menatap, saling tersenyum, tertawa tanpa beban layaknya pasangan kekasih. Lalu Julian dengan mudahnya memagut bibir Keisha sekaligus menghimpit tubuh semampai gadis itu dengan mesra, mengajaknya menggapai kebahagiaan.

Thalia membekap mulutnya, meredam napasnya yang tercekat hebat. Dengan sisa tenaga ia menarik dirinya mundur lalu buru-buru keluar dari sana. Dengan mata mengabur juga sesak yang mendera.

Julian dan Keisha berciuman. Lelaki yang dikaguminya dan pernah menyatakan suka padanya, ternyata berhubungan dengan teman baiknya. Dua orang yang ia percaya lebih dari siapapun di sekolah ini, ternyata mengkhianatinya.

Mata Thalia dibuka lebar-lebar, menyadari bahwa kebahagiaan yang dia dapat selama ini hanyalah semu. Kasih sayang yang sering Julian berikan ternyata hanya skenario belaka. Lelaki yang selalu dikaguminya, ternyata jauh dari kata baik hati.

"Masih betah aja lo sama si kolot. Jangan bilang lo jatuh cinta beneran sama dia."

"Lo udah cetak rekor pacaran terlama sama dia. Lima bulan, coy! Jangan-jangan sebenernya lo udah berhasil ngajakin dia ena-ena tapi elonya keenakan."

"Ck, apaan? Gue cium aja masih sok malu-malu kucing. Bayangin aja, sampe sekarang susah banget gue mau makan bibir dia. Bosen gue lama-lama. Beneran jelmaan anak jadul."

"Berarti lo ngaku dong, udah kalah taruhan sama kita-kita?"

"Enak aja! Masih ada waktu sampe lulus, ya. Gue bakalan taklukin tuh cewek cupu. Untung cantik, kalau enggak, dari awal gue udah kasih aja duit ke lo pada."

S P L E N D I DTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang