[44] I Promise You

18.8K 1.8K 297
                                    

“I'll be your strength. I'll give you hope. Cause you're worth more than you think.”

 

TIDAK butuh waktu lama bagi Atha untuk sampai di rumah. Namun kini, Atha harus menilik sekitar terlebih dulu sebelum benar-benar masuk. Fakta mengejutkan yang baru didapat dari mulut Julian membuatnya menjadi waspada.

Kaki-kaki panjang Atha melangkah cepat selesai masuk dan mengunci kembali pintu rumah. Hanya satu tujuannya saat ini. Membuka pintu kamar tersebut dan menemukan Thalia tengah duduk di sisi tempat tidurnya sembari memainkan ponsel pintarnya.

“Oh, kamu udah pulang?” Thalia segera berdiri, mengabaikan ponselnya dan terpana melihat kedatangan Atha yang tidak didengarnya. “Tadi kamu kenapa di telepon? Kok kamu kedengaran buru—“

Thalia tidak lagi melanjutkan pertanyaannya. Lantaran Atha begitu cepat meraihnya untuk masuk ke dalam pelukannya. Kedua lengan lelaki itu mendekapnya terlalu erat. Bahkan deru napasnya yang berat dan cepat langsung membentur sisi kepalanya.

“A-Atha?” Thalia tergegap-gegap seketika. Jantungnya mendadak berpacu cepat, menyusul cepatnya debaran di balik dada Atha yang bisa Thalia rasakan. “A-Atha ... ke—kenapa?”

Hanya embusan napas frustasi yang Atha keluarkan dari mulutnya. Ia justru menyembunyikan sebagian wajahnya ke balik surai Thalia. Menghirup aroma di sana adalah oksigennya saat ini.

“Atha—“

“Sebentar, Tha ... sebentar aja....”

Lalu Thalia mengatup mulutnya. Membiarkan gugup semakin menguasai. Membiarkan Atha semakin mengetatkan pelukannya. Membiarkan deru napas Atha yang begitu berat mengisi kesunyian yang dia ciptakan.

Atha terlalu kalut hingga tak tahu harus berpegangan dengan apa. Dia sendiri tidak tahu bagaimana mendeskripsikan perasaannya saat ini.

Ucapan Julian yang menyulut amarah terbesarnya kembali berputar-putar di dalam kepalanya. Membuatnya ingin kembali meninju apapun jika tangan-tangannya tidak lagi mampu meraih Thalia detik ini.

Tetapi merasakan tangan-tangan yang lebih kecil dari miliknya kini melingkar di punggungnya, menepuknya perlahan-lahan, sedikit demi sedikit meredakan emosinya yang bercampur aduk.

****

Thalia kembali dari dapur dengan sebotol kecil salep yang berhasil didapat dari kotak obat. Atha sudah kembali tenang setelah meneguk segelas minuman dingin yang dibuatnya. Lelaki itu kini duduk terdiam di sisi tempat tidurnya.

Thalia pun menyusul duduk di sebelah Atha. Matanya melirik ke tangan lelaki itu sebelum diambilnya perlahan. Tentunya menarik atensi empunya.

“Tangan kamu merah-merah. Habis mukul orang, ya?” Thalia bertanya asal. Hanya untuk mencairkan suasana hening yang ada sementara ia membuka salep tersebut.

“Iya.”

Tidak disangka Atha akan menjawab begitu. Thalia pun mendongak cepat. Mengerjap tidak percaya yang malah digunakan Atha untuk merebut salep di tangannya.

“Nggak perlu diobatin. Nanti juga sembuh sendiri.”

“Tapi, kamu beneran habis mukul orang? Siapa?” Thalia mulai cemas. “Atha, jangan cari masalah sama orang. Ini bukan waktunya buat kamu berantem-berantem. Nanti kalau Om Fahri tau, kamu bakalan dimarahin kayak waktu itu.”

Atha memandangi wajah Thalia. Demi mengamati ekspresi kekhawatiran yang terpatri di sana. Lalu menggerakkan satu tangannya untuk merengkuh wajah Thalia, mengelus pipinya. Sesederhana ini dia mampu kembali mengendalikan diri.

S P L E N D I DTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang