[10] After Last Night

28.7K 2.1K 130
                                    

ADA yang tidak biasa di pagi hari ini bagi Fahri. Begitu keluar dari kamar dalam keadaan rapi dan beranjak ke ruang makan, dia melihat Thalia sudah ada di sana dan sedang membereskan meja makan untuk sarapan mereka.

“Oh, pagi, Om!” Thalia menarik satu kursi yang biasa Fahri duduki dan memersilahkan sang paman untuk segera menempati. “Lia bikinin kopi dulu buat Om, ya.”

Fahri hanya menggumam pelan disertai senyum mengiringi kepergian Thalia ke dapur. Bergabung dengan Atha yang tampak sibuk berkutat di depan kompor gas. Mata Fahri terus mengawasi gerak-gerik Thalia yang mengambil kopi di lemari atas juga cangkirnya. Tidak disangka Atha akan bergeser mengambilkan cangkirnya yang terletak agak ke dalam tanpa kesulitan lalu menyerahkannya pada gadis itu.

Thalia langsung berpindah ke meja bar setelah menerima. Meracik kopi dengan gerakan kikuk yang malah membuat Fahri memicingkan mata. Firasat akan adanya ketidakberesan ini memang benar. Apalagi Fahri langsung teringat kejadian semalam saat ia memergoki dua muda-mudi itu tidur bersama di ruang tengah.

Bukan dalam arti yang menjurus. Fahri menemukan Thaliatertidur di sofa dengan Atha yang ikut terlelap sambil bertopang dagu di pinggirnya, duduk bersila di lantai. Posisinya seolah mereka sempat bercengkerama sebelum jatuh tertidur secara tak sengaja.

Atha yang terbangun lebih dulu langsung berdiri menyambut Fahri yang sudah berkacak pinggang di dekatnya. Mengusap kasar wajahnya demi membuang kantuk sambil menatap sekilas Thalia, lalu menyambut kedatangan pria itu dengan raut wajah setenang mungkin meski matanya sedikit memancarkan kegugupan.

Menyusul Thalia yang sepertinya terusik, dia masih sempat melenguh pelan seraya mendongak melihat keduanya sebelum tersadar beberapa detik kemudian. Langsung melotot kaget hingga buru-buru menyibak selimut lalu berdiri. Sampai-sampai dirinya kehilangan orientasi sesaat yang untungnya ada Atha sigap menangkap lengannya agar bisa berdiri tegak.

Fahri memang tidak berkomentar apapun setelahnya. Hanya menitah Thalia untuk masuk ke dalam kamar kemudian meminta Atha membuatkan minum sementara dirinya menunggu di meja makan. Namun di situlah Fahri menginterogasi Atha untuk menjelaskan apa yang terjadi selama dirinya belum pulang.

“Tadi pemadaman listrik dari maghrib, Pak. Saya menemani Thalia karena sepertinya dia nggak bisa ditinggal. Kebetulan saya pulang telat dan listrik memang udah mati begitu saya sampai. Saya nemuin Thalia ternyata udah pulang duluan, dia ada di dapur dan ketakutan. Makanya saya terus ada di dekat dia sampai Bapak nemuin saya sama dia ketiduran di ruang tengah tadi.”

“Thalia ketakutan?”

Atha mengangguk sekali. Lalu napas Fahri memberat. Dia belum tahu akan ketakutan keponakannya yang satu ini. Tapi sepertinya, itu berkaitan dengan trauma yang dimilikinya. Tentu itu masuk akal mengingat cerita yang pernah Fatya kisahkan.

“Kalau Bapak mengkhawatirkan Thalia yang hanya berdua sama saya seperti tadi, saya nggak apa-apain Thalia. Kami cuma mengobrol yang untungnya bisa mengurangi rasa takutnya. Thalia masih baik-baik aja seperti yang Bapak lihat tadi.”

Fahri tahu bahwa Atha selalu berkata apa adanya. Meski rasa terkejut itu masih ada, Fahri kini bisa mengerti mengapa Thalia begitu dekat dengan Atha dalam kondisi seperti tadi. Logikanya, jika memang ada apa-apanya, Thalia pasti sudah bersembunyi di balik punggungnya atau bahkan sampai memohon perlindungan padanya.

Fahri bisa menyimpulkan bahwa Atha memang menjaga Thalia dengan baik selama dirinya tidak ada.

Hanya saja Fahri dibuat bingung di pagi hari ini. Bukan hanya keponakannya melainkan memang ada atmosfer yang berbeda dari biasanya di antara keduanya. Jika sebelumnya Fahri selalu disuguhi adu mulut atau hanya saling melempar tatapan permusuhan bak anak kecil, kini mereka tampak lebih akur. Fahri jadi tersenyum sendiri karena menarik kesimpulan bahwa mereka sedikit melunak berkat kejadian semalam.

S P L E N D I DTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang