“It was hard without you, I was scared. I'm scared to being alone. Please, stay with me.”
–
DERAP kaki Atha begitu cepat membawa dirinya memasuki ruang berpalang Unit Gawat Darurat. Bau khas obat-obatan yang menyengat tidak menghentikan matanya yang terus berlari mencari, hingga menemukan sosok yang dikenalnya ternyata berdiri di sudut ruang sembari menyisir rambutnya penuh gelisah.
“Mana Thalia?” di sela napas memburunya, Atha mencecar Daniel yang sudah memandang kaget dirinya. Mengamati dari rambut hingga ujung kakinya yang sudah basah keseluruhan.
“Dia di sana.” Daniel menunjuk tirai hijau tepat di belakang Atha. Lelaki jangkung itu sudah berbalik hampir menjangkau pembatas tersebut jika Daniel tidak segera mencegah. Membiarkan dirinya langsung mendapat pelototan tajam dari Atha. “Thalia lagi ganti baju di dalam. Ada perawat sama Laura yang nemenin. Kita tunggu sebentar lagi.”
Barulah Atha mengendurkan raut mengerasnya. Menghela napas panjang sekaligus mengusap wajahnya lamat-lamat. Lalu kembali menatap Daniel. “Gimana lo bisa nemuin dia dan berakhir kayak gini?”
“Kita lagi jalan ke kafe ketika nemuin dia di tengah hujan tadi. Gue nggak tau udah seberapa jauh dia lari karena kita hampir nabrak dia di depan Gang Buntu. Dan dia jatuh pingsan di tempat. Dia kayak lagi dikejar-kejar orang.”
Daniel membuat jeda. Membasahi bibirnya sejenak diiringi keraguan terpancar di mata teduhnya.
“Thalia sempat diperiksa tadi. Dan, Dokter bilang, kesehatan Thalia menurun nggak cuma karena dia udah terlalu lama lari di tengah hujan, tapi ada pengaruh dari kondisi psikisnya yang terguncang. Ada kemungkinan kalau dia ngalamin Gangguan Stres Pasca Trauma, dan Dokter rekomendasiin agar Thalia dirujuk ke psikiater.”
Daniel mengamati raut wajah Atha yang kembali tegang. Menumpuk semakin banyak tanda tanya di dalam kepalanya.
“Tha, lo tau kalau Thalia punya trauma? Dia ... punya trauma apa?”
Bukan jawaban yang Daniel dapat, melainkan umpatan tertahanlah yang keluar dari mulut Atha. Lelaki itu menjenggut rambut hitamnya sembari melempar pandangan cemas ke belakang.
Sejak mendapat panggilan dari Laura, firasat Atha seketika berubah buruk. Bayangan Thalia terus memenuhi kepalanya, membutakan apapun yang ada di sekitarnya. Dia pergi begitu saja meninggalkan kafe, meninggalkan jadwal tampilnya sekaligus teman-temannya yang kebingungan, bahkan menerobos deras hujan dengan motornya hanya demi menemui Thalia yang dikabarkan sudah masuk kemari.
“Gimana, Lang? Ah, lo langsung ke UGD Siloam aja. Atha udah di sini.” Suara Daniel terdengar. Setelah beberapa kata, ia mengakhiri panggilan dan menyimpan kembali ponselnya. “Barusan Gilang ngecek ke rumah Thalia. Kayaknya dia mau ngomong sesuatu ke lo soal itu nanti.”
Atha sebatas mengangguk. Fokusnya tak dapat ke mana-mana lagi selain mencari dugaan mengapa Thalia bisa sampai seperti ini. Dia nyaris melampiaskan amarahnya jika saja tirai di belakangnya tidak terbuka menampakkan sang perawat bersama Laura keluar dari sana.
“A-Atha?” Laura tergeragap begitu Atha segera menghampirinya. Ia langsung berdeham, “Mbak Thalia ... udah bisa kamu jenguk. Dia udah selesai...,”
Tanpa menunggu lagi Atha langsung menerobos masuk. Menemukan Thalia yang sudah berbalut kostum pasien rumah sakit ini, dengan infus menancap di salah satu tangan. Mata jernihnya yang berubah hampa ikut menemukan dirinya, menggerakkan tubuh itu mencoba bangkit di atas bangsal sambil memanggil namanya.
“A—Atha ... Atha...,”
Begitu mudah Atha menjangkaunya, memeluk Thalia yang langsung dibalas erat dan seketika merasakan gemetar hebat di sekujur tubuh gadis itu. Kecemasannya melebur bersama isak tangis yang seketika deras milik Thalia, sedu sedannya menunjukkan jelas betapa takutnya Thalia hingga bahunya terguncang-guncang.
KAMU SEDANG MEMBACA
S P L E N D I D
Romance[SUDAH TERBIT ; INDIE] Thalia akan tinggal bersama pamannya yang masih hidup sendiri di usianya yang sudah terlampau matang. Namun ternyata, ada orang lain yang sudah menemani paman gantengnya itu sebelum Thalia memutuskan untuk pindah. Jangan salah...