[16] Meet Again

22.8K 1.9K 137
                                        

NAPASNYA tersengal hebat di sela larinya. Pandangannya tertuju pada satu-satunya pintu di tengah kegelapan yang nyaris menyelimuti pandangannya, tangannya terulur menggapai-gapai jalan keluar harapannya, namun tarikan dari belakang mengejutkannya, menyeretnya semakin menjauh dari harapannya dan menghempasnya.

Dia terisak, matanya yang sudah basah semakin mengabur melihat sosok hitam itu sudah berdiri angkuh di hadapannya, tertawa pelan yang justru terdengar mengerikan di telinga. Melangkah pelan bagai teror. Ia menyeret mundur tubuhnya yang sudah gemetaran bukan main.

"Jangan...," ia menggeleng lemah sebagaimana dengan suaranya nyaris tak terdengar. "Tolong, jangan..."

"Jangan?" tawa itu mengeras. Seperti menggema di kegelapan pekat. "Tapi aku mau kamu, Tha."

Lalu menyentak dirinya dengan terjangan tiba-tiba, mencengkeram pundaknya lalu terdengar seperti robekan kain yang seketika membuat ia berteriak. Tubuhnya meronta sia-sia, bersamaan tangisnya pecah seketika kala sosok itu menekan tubuhnya, membisikkan kata-kata lembut yang malah semakin membuatnya histeris.

Menjatuhkan harga dirinya ke dasar jurang terdalam.

Merenggut dunianya dalam waktu sekejap lalu gelap gulita.

...

Thalia membuka mata penuh keterkejutan. Matanya melebar layaknya kantuk menghilang begitu saja, menatap nyalang langit-langit kamar sebagaimana dengan kesadarannya menjejal penuh. Napasnya memburu seketika sampai bibirnya terbuka demi menghirup udara dengan rakus. Ia segera mendudukkan diri, merasakan hawa begitu panas di sekitar tubuhnya, sampai-sampai butiran peluh mengalir beberapa di pelipisnya.

Dia juga menyadari tangan-tangannya meremas kuat selimut yang menutupi pinggang hingga ke bawah. Saat ia coba gunakan untuk mengusap peluh di dahi, muncul gemetar tak biasa yang bisa Thalia lihat sendiri. Jemarinya bergetar kecil seolah menyimpan ketakutan di sana. Sampai-sampai Thalia harus menangkup keduanya di depan dadanya yang masih berdenyut keras.

Tadi itu apa? Bunga tidur yang terlalu mengerikan untuk dijadikan seperti nyata. Thalia bahkan bisa merasakan detak jantungnya berlari kencang di balik rusuknya. Wujud tersirat akan ketakutan yang sudah pecah hingga ke permukaan alam sadarnya.

Thalia ingin menangis rasanya.

Itu memang mirip seperti masa lalunya, lalu mengapa alam bawah sadar Thalia kembali membocorkan sinyal yang sudah jelas terkubur di lapisan terbawah? Untuk apa Thalia kembali diingatkan akan kenangan yang jelas-jelas sudah berhasil dia musnahkan dari dalam memori terkininya?

Apakah ini semacam pertanda?

Tapi pertanda apa?

Embusan napas pilu keluar begitu saja dari mulut Thalia. Tangannya mencoba menyingkap selimut, menurunkan kedua kakinya menyentuh lantai yang cukup dingin. Dan Thalia harus dibuat bingung karena lututnya nyaris tak kuasa menopang berat tubuhnya. Dia keluar kamar dengan memegangi kening, kepalanya terasa begitu berat untuk ditegakkan. Tubuhnya seperti berdemonstrasi ingin mogok bergerak, seolah tenaganya sudah tersedot habis.

Hingga Thalia tak bisa lagi berdiri di atas kaki-kakinya berkat tabrakan tak disengaja dengan seseorang, ia nyaris tersungkur jika tangan-tangan itu tidak menahan kedua lengannya, menyangga berat tubuhnya begitu kuat yang cukup mengejutkan Thalia. Mata gadis itu kemudian membeliak ketika melihat dengan jelas siapa yang sudah menubruk sekaligus menolongnya.

"Ka-kamu—"

"Lo kenapa? Sakit?" Atha menyambar. Ada kerutan terlalu jelas di dahinya. Satu tangannya sudah menyentuh poni Thalia ketika gadis itu mengelak dan hampir terjatuh kembali jika tangan Atha yang lain sudah berhenti menyangga. "Lo kenapa, gue tanya."

S P L E N D I DTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang