[21] Take Turns

23K 1.8K 251
                                    

DI hari Sabtu, biasanya Thalia akan menghabiskan banyak waktu di rumah seorang diri. Setelah membereskan apa yang perlu dirapikan di rumah, Thalia akan mengurung diri di kamar untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah hingga menjelang sore.

Namun di pukul sebelas siang ini, Thalia justru menginjakkan kaki di sebuah gedung sekolah. SMA Delayota namanya. Kalau ada yang penasaran, inilah tempat di mana pamannya berkarir beberapa tahun belakangan ini sebagai guru. Jaraknya memang tidak jauh-jauh amat dari rumah. Hanya menempuh waktu sepuluh menit jika berkendara.

Jadi setelah mencari-cari ruang guru dan memberi kabar, kini tinggal menunggu Fahri keluar dari sana. Sebelumnya Fahri meminta tolong untuk mengantarkan berkas pekerjaan yang tertinggal dan memintanya untuk cepat-cepat diantar.

“Bisa-bisanya Om ninggalin barang penting begini. Tau nggak, Lia nemuin ini jatuh di kolong meja ruang tengah. Untung nggak kebuang pas Lia lagi bersih-bersih!” sungut Thalia sambil menggoyangkan map cokelat di tangannya. Bibirnya mengerucut melihat pamannya itu malah cengengesan sebelum menerima barang pesanannya itu. “Makanya kalau punya banyak berkas diamplopin tuh ditandain. Biar ketahuan penting banget atau cuma penting atau udah nggak kepakai!”

“Iya, Lia, iya. Maafin Om, ya.” Fahri menepuk-nepuk gemas kepala keponakannya itu. “Kamu kemari naik apa tadi?”

“Cari ojek depan komplek. Kalau nggak disuruh buru-buru banget Lia masih bisa pesan ojek online dulu.” Thalia mengusap keningnya tanpa sadar. Dia sedang mengingat kembali bagaimana dirinya berlari-lari ke depan komplek yang begitu jauh jaraknya dan untungnya ada beberapa pengendara ojek duduk di warung kopi tak jauh dari sana.

Fahri cengengesan lagi. “Duh, ponakannya Om ini gesit banget, ya. Seneng deh Om. Nanti pulang rapat Om beliin jajan yang banyak deh.”

“Nggak usah. Gantiin aja ongkos Lia buat pulang. Lia cuma bawa sepuluh ribu tadi. Untungnya si abang ojek mau dikasih segitu.” Curhat Thalia yang mengundang tawa pamannya.

Fahri pun memberikan selembar uang berwarna biru untuk Thalia. “Om nggak punya uang kecil. Kamu pecah aja dulu buat jajan apa gitu sebelum pulang. Udah ya, Om masuk dulu. Kerjaan Om belum kelar ini. Kamu hati-hati di jalan, simpen yang bener uangnya.”

Thalia berada di antara sadar dan tidak. Masih agak terpana akan selebaran uang pemberian omnya yang bernominal cukup besar. Dia jadi berpikir untuk pergi ke kantin sekolah ini. Siapa tahu ada yang berjualan mengingat hari ini sekolah libur. Sekolah juga tidak sepi-sepi amat, banyak siswa berlalu-lalang apalagi memenuhi lapangan yang ada, mungkin mereka sedang melaksanakan kegiatan ekstrakulikuler.

“Thalia?”

Sontak saja Thalia menoleh, menemukan sosok lelaki berbalut jaket hitam mendekatinya. Manik Thalia melebar seketika sampai mulut kecilnya ikut terbuka.

“Daniel? Kamu—“

“Kamu kok di sini?” Daniel mengatakannya lebih dulu. Ada binar takjub melintas di mata sipitnya, menggerakkan bibirnya untuk mengembang hingga menunjukkan deretan giginya.

“Aku ... aku habis nganterin berkas om aku yang ketinggalan. Kamu sendiri ... kok ada di sini?” Thalia berkata ragu.

Jujur saja, bisa bertemu dengan Daniel di sini tidak pernah melintas di pikirannya. Sama Sekali.

“Aku janjian sama anak-anak di sini. Kamu tau 'kan, teman-temannya Gilang itu? Kita mau latihan bareng buat tampil nanti malam karena kebetulan aku diundang buat manggung lagi di kafe kemarin. Karena mereka bilang studio musik di sekolah lengkap, ya udah, aku setuju buat kemari. Malah nggak nyangka bakalan ketemu kamu juga di sini.” Daniel menjawab dengan semringah. “Nanti malam kamu ada rencana mau nonton?”

S P L E N D I DTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang