[43] His Other Side

18.9K 1.7K 299
                                    

[Peringatan]

Adegan kekerasan dan kata-kata kasar. Mohon siapkan hati bijak Anda.

🙊🙊🙊

MATAHARI di saat ini mulai malu-malu menunjukkan sinarnya di balik gumpalan awan putih keruh. Sore begini memang sudah menjadi rutinitas bahwa mendung akan segera tiba. Pun sudah diberitakan bahwa cuaca di kota ini masih dalam mode panas berganti hujan dalam satu hari.

Selesai melakukan latihan yang hanya berjalan kurang dari dua jam, Atha sudah memasuki lapangan parkir seorang diri. Sedang teman-temannya memilih tetap berada di studio musik entah sampai kapan. Kondisi sekolah mulai sepi mengingat jam pulang sudah berlalu sangat lama. Hanya beberapa kelompok ekstrakulikuler yang terlihat mengisi sebagian lapangan.

“Megan, jangan lama-lama latihannya. Bapak hari ini bakalan pulang malam karena mau bicara sesuatu sama Rosa. Tolong temani Thalia di rumah seperti biasa, ya?”

Adalah yang disampaikan Fahri melalui telepon beberapa saat lalu. Sudah sejak dua hari lalu Fahri pulang terlambat dengan Rosa sebagai alasannya. Selama itu pula Fahri pasti akan meminta tolong hal ini padanya.

Tetapi Atha tidak begitu memusingkannya. Dia justru senang-senang saja diminta untuk pulang cepat.

Atha tengah mengambil jaket hitam di bagasi motornya ketika seseorang datang mendekat. Intuisinya mengatakan bahwa Atha harus melihat siapa dia. Benar saja, Atha langsung menutup jok motornya dengan hentakan keras.

“Gue tungguin dari bel sekolah tadi tapi lo nggak nongol-nongol. Kirain mata gue meleng.”

Ada yang berkilat nyala di mata Atha saat ini. Bersamaan dengan wajah tegasnya menegang. “Ngapain lo?”

“Santai, Bro.” Julian memamerkan senyum miringnya. Mengangkat tangan sebagai tanda sapa. “Gue datang dengan maksud baik. Ini kedua kalinya kita ketemu, harus langsung musuhan, ya?”

“Tau dari mana gue di sini?”

“Dari mana?” Julian mendengkus cepat sembari menyimpan tangannya ke balik saku celana. “Lo lagi make batik waktu ngehajar gue, ngomong-ngomong. Gue langsung tau kalo lo anak Delayota.”

“Kalo lo mau gue tonjok lagi kayak kemarin, nggak di sini tempatnya.”

“Kenapa? Takut ketahuan guru-guru lo? Gue lagi di kandang lo, padahal. Lo bisa teriak ke mereka buat minta pertolongan,” ujar Julian meremehkan.

Atha melempar jaketnya ke atas jok motor, membuka kaki-kaki panjangnya untuk menghampiri Julian. Dengan tinggi tubuhnya yang mampu melampaui, Atha mencoba mengintimidasi lelaki yang sudah berani memancing sisi lain dirinya.

“Lo harusnya tau diri ada di mana lo sekarang. Lo memang ada di kandang gue. Dan lo lagi ngumpanin diri lo sendiri ke tangan gue. Jadi maksud kedatangan lo kemari itu apa?”

“Gue mau menjalin pertemanan sama lo sebenarnya. Tapi kayaknya lo udah nolak sebelum gue minta.”

Giliran Atha yang mendengkus geli. “Setelah tau siapa lo, gue justru bermaksud buat kasih perhitungan ke lo. Gue tipe orang yang nggak tahan buat remukin muka orang brengsek, asal lo tau itu.”

Julian tampak tidak terpengaruh akan ancaman Atha. Ia menggaruk pelipisnya sebelum kembali membalas tatapan Atha.

“Gue udah ngawasin lo dari kemarin-kemarin, sebenarnya. Lo yang baru keluar jam-jam segini, pergi ke kampus pake motor lo itu buat nemuin Thalia. Terus pulang bareng Thalia,” Julian menyeringai melihat mata Atha semakin menyala. “Dan gue nggak nyangka kalo ternyata lo tinggal serumah sama dia. Kira-kira sekolah lo tau atau enggak soal ini, ya?”

S P L E N D I DTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang