[3] His Room

38.9K 2.7K 198
                                    

FAHRI terus mengulum senyum sejak menyimak curahan hati Thalia di pagi hari ini. Sembari menyesap kopi hitamnya, matanya terus mengamati bagaimana keponakannya itu tampak menggebu-gebu di tempat duduknya.

"Dia itu nggak sopan banget tau, Om! Lia udah ngomong sopan-sopan tapi dianya malah selengean! Dia bahkan nggak ada sedikit pun niatan buat anggap Lia itu lebih tua dari dia!"

Cangkir di tangan Fahri berdenting halus kala diletakkan kembali di atas lambar. "Megan memang selalu menganggap siapa saja sebagai teman sebayanya."

"Teman sebaya apanya? Dia udah ngeledek Lia, Om! Masa Lia dibilang pendek?! Di sekolah dulu, Lia itu masuk jajaran cewek tertinggi, Om! Dianya aja yang punya badan kayak tiang listrik! Semua orang jadi keliatan pendek di mata dia!"

"Megan memang suka bercanda seperti itu." Fahri masih menyahut dengan kalemnya.

"Dia bahkan dengan seenaknya megang kepala Lia, Om! Kayak gini! Emang itu bercanda?! Lia kesel diperlakukan nggak sopan kayak gitu!" Thalia memraktekkan bagaimana lelaki yang sudah berangkat ke sekolah itu pernah memegang ubun-ubunnya.

"Om juga pernah dipegang kepalanya sama Megan, kok."

"Tuh, nggak sopan banget 'kan, Om?!"

"Dia telaten banget cabut-cabutin uban di rambut Om sampai bersih."

"Itu mah beda cerita, Om!!!"

Fahri tidak tahan lagi mendengar suara meninggi Thalia yang terlalu konstan. Ia pun mengusap gemas kepala Thalia disusul menggeser sandwich miliknya untuk sang keponakan.

"Megan nggak seperti yang kamu kira, Lia. Memang, dia selalu memberi kesan seperti itu tiap bertemu dengan orang baru. Tapi kalau kamu sudah mengenal betul seperti apa dia, kamu akan mengerti kenapa Om suka sekali sama dia."

"Maksud Om, Lia harus temenan sama dia? Nggak! Lia nggak mau!"

"Loh, memang harusnya begitu, 'kan? Apalagi kalian ini sama-sama tinggal di rumah Om. Masa kamu mau musuhan sama dia? Ingat loh, Lia, bermusuhan dengan sesama itu nggak baik. Apalagi dalam jangka waktu lama, bisa dapat dosa kamu."

"Abisan dia udah nyebelin dari awal, Om!" Thalia menyambar sandwich pemberian Fahri. "Lagian ya, dia itu aneh. Masa nggak suka sama nama sendiri? Nggak menghargai orangtua banget. Itu 'kan hadiah pertama sejak dia lahir. Dia malah nyuruh Lia buat manggil pake Ata-Ata."

"Atha?" ralat Fahri setelah menyesap kembali kopinya. Lalu bibirnya terkulum. "Dia memang lebih senang dipanggil itu. Tapi bagi Om, Megan lebih bagus untuk dia. Itulah kenapa Om sampai buatkan papan nama buat kamarnya itu," kekehnya.

Thalia yang sudah mengunyah untuk gigitan ketiga, mulai memerhatikan sandwich di tangannya. "Om beli ini di mana? Enak banget."

"Itu nggak beli. Megan yang buat."

"Uhuk!" Thalia nyaris memuntahkan isi mulutnya, beralih segera menelannya meski kepayahan. "Di-dia yang buat?"

Fahri mengangguk diiringi senyum bangga. "Jangankan sandwich, Megan itu bisa masak makanan apa aja. Makanya itu juga alasan kenapa Om betah biarin dia tinggal di sini. Hahaha!"

Tidak menggubris tawa sumbang Fahri, Thalia memandang horor sandwich di tangannya.

Secara tidak sadar, dia baru saja menyanjung lelaki bernama Atha itu.

****

Selepas ditinggal Fahri, Thalia segera mencuci piring-piring kotor juga menatanya dengan rapi di tempat semula. Ia segera pergi ke kamar dan memeriksa kalender di ponselnya. Registrasi ulang sekaligus pengambilan Kartu Mahasiswa akan dibuka beberapa hari lagi. Dan Fahri sudah mengatakan bahwa ia akan mengantar Thalia ke kampusnya di hari Jumat nanti.

S P L E N D I DTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang