“This trauma still haunts me until now. All I want is only ... feel safe...”
THALIA mencoba menarik mundur kaki-kakinya, namun hitungan mili itu amat percuma. Mulutnya tak mampu terkatup, seolah lidahnya tertelan menyumbat tenggorokannya untuk mengeluarkan barang satu teriakan.
Bertemu Julian kembali untuk kedua kalinya tidak pernah terdaftar dalam harapannya. Bukan hanya namanya yang masih memengaruhi, kehadirannya tepat di depan matanya seperti sekarang saja memiliki dampak seburuk ini. Sekujur tubuhnya menegang bersamaan dirinya tak mampu lagi merasakan oksigen di sekitarnya.
“Aku nggak nyangka kalo kamu kuliah di sini. Dengar-dengar kamu baru masuk tahun ini.”
Dari mana dia dengar? Mungkinkah Keisha?
Thalia kembali berusaha menarik kedua kakinya. Di mana tindakan defensifnya justru diketahui Julian dan menggerakkan lelaki itu mendekat. Hanya satu langkah sudah cukup menaikkan jarum level terancam untuk Thalia.
“Apa kabar, Tha?” Julian menyematkan senyum. “Lama nggak ketemu, kamu banyak berubah, ya. Atau karena kamu potong rambut jadi pendek?”
Tidak ada satu silabel pun keluar dari mulut Thalia. Membuat Julian menjungkit sebelah alisnya, melebarkan senyum hingga menunjukkan deretan giginya.
“Masih nggak nyangka aku ada di sini? Aku emang kuliah di sini, sih. Kamu tau Amikom? Aku ambil jurusan Geografi di sana. Aku udah semester tiga sekarang.” Julian menggaruk pelipisnya. Seiring dengan raut wajahnya berubah. “Kelihatannya kamu masih syok ngelihat aku ya, Tha.”
Sebagaimana dengan tangan Julian hendak menjangkaunya, alarm peringatan di kepalanya berdering nyaring yang seketika menggerakkan reflek Thalia untuk segera menepisnya. Saat itu juga Thalia seolah kembali merasakan kakinya menapak, menyeret mundur sejauh yang dia bisa, sekaligus melarikan pandangannya yang sudah basah ke mana saja, asalkan tidak menatap lelaki itu.
“Jangan sentuh...,” suara Thalia nyaris tak terdengar. Getaran gamang itu merambat ke jantungnya. “Jangan sentuh aku....”
“Kenapa? Aku cuma mau nyapa kamu, Tha.” Julian memamerkan seringai. “Ah, kamu masih ingat kita dulu, ya?”
Ucapan Julian bagai sulutan api luka Thalia untuk kembali membumbung. Menimbulkan denyut nyeri hebat menindih tepat di dada. Sekaligus perih yang bersarang di manik jernihnya.
“Kamu keterlaluan...,” bagai bisikan yang menghilang ditelan senyap, Thalia bahkan tidak peduli bila Julian mendengarnya. Karena Thalia segera mengerahkan tenaga yang ada untuk berputar, berniat pergi tanpa perlu mengakatan sepatah kata pun lagi.
Namun berikutnya Thalia tak dapat mengontrol pekikannya ketika cekalan di tangannya kembali membalikkan tubuhnya dan nyaris menubruk tubuh tinggi Julian. Irisnya membeliak menemukan lengkungan tak asing itu terpatri di bibir Julian.
Layaknya déjà vu yang menjerumuskan Thalia sekali lagi. Meneror ketenangannya yang sudah terkikis.
“Kamu tau, kita berpisah secara nggak baik dulu. Kamu menghilang gitu aja. Dan sejak itu aku masih suka kepikiran kamu.”
Thalia mampu melihat maksud dari kerutan dahi di balik anak-anak rambut Julian. Bukan pertanda baik. Lelaki itu masih seperti dulu. Tapi Thalia tidak lagi terpengaruh. Tidak setelah mengetahui betul watak sesungguhnya seorang Julian.
“Lepasin.” Thalia memberi perlawanan. “Kamu nggak berhak nyentuh aku setelah perbuatan bejat kamu dulu. Lepasin!”
“Bejat? Kita lakuin itu di saat kamu masih jadi punya aku, Tha.”
KAMU SEDANG MEMBACA
S P L E N D I D
Romansa[SUDAH TERBIT ; INDIE] Thalia akan tinggal bersama pamannya yang masih hidup sendiri di usianya yang sudah terlampau matang. Namun ternyata, ada orang lain yang sudah menemani paman gantengnya itu sebelum Thalia memutuskan untuk pindah. Jangan salah...