[25] The Day of Fear Has Come

20.4K 1.7K 214
                                    

ATHA terbangun dari tidur singkatnya dengan dahi mengerut jelas. Sambil memegangi kepalanya yang terasa berat, ia menyingkap selimut demi mendudukkan diri dan mengumpulkan fokusnya hingga menemukan semangkuk sup yang ditutup juga teko kecil di atas meja.

Sejenak matanya memandang lurus ke jendela, menyadari hujan sudah reda, lalu kembali memandangi senampan makanan di hadapannya.

Ingatannya kembali ke beberapa saat sebelum kembali ke rumah. Sepanjang di sekolah, dia menjadi pendiam yang justru membingungkan teman-temannya. Saat berkumpul untuk latihan band pun, tidak ada gairah seperti biasanya yang semakin mengherankan lainnya hingga akhirnya mereka membatalkan latihan dan menyarankan Atha agar menjernihkan pikiran.

Tetapi Atha malah nekat menerobos hujan di perjalanan pulang dan berakhir seperti ini. Kalau teman-temannya tahu, mereka pasti akan mengoceh banyak di kolom chat-nya.

Sayup-sayup Atha mendengar suara berasal dari ruang tengah. Ada Thalia yang sedang menerima telepon di sana. Sepertinya panggilan dari Fahri. Gadis itu berbicara dengan pandangan lurus ke arah televisi yang menyala.

"Atha yang sakit tuh, Om. Badannya agak demam, terus pusing katanya. Tapi dia malah tidur di ruang tamu, bilangnya kamarnya pengap. Belum dibersihin, kali."

Atha mendengus. Tangannya bersedekap, menyandarkan tubuh menjulangnya pada dinding pembatas, menguping lebih jauh.

"Udah Lia bikinin sup tadi, tapi belum sempat dimakan. Orang dia masih tidur—"

Sebelah alis Atha menukik melihat reaksi kaget Thalia kala menengok kemari. Gadis itu sampai mengelus dadanya dan mungkin akan terjungkal jika tidak duduk di sofa.

"Eh, Athanya udah bangun ternyata, Om."

Atha berusaha untuk tidak menunjukkan rasa gelinya melihat gadis itu mulai salah tingkah. Thalia ragu-ragu berdiri, mendekatinya seraya menggumam meladeni pamannya di seberang telepon sebelum kemudian menyerahkan ponselnya pada Atha.

"Om Fahri mau bicara sama kamu "

Atha pun menerimanya. Menjawab dengan suara beratnya yang masih parau. Sementara Thalia buru-buru ngacir ke dapur diiringi detakan jantungnya yang sudah berlari.

Napasnya pendek-pendek begitu sampai di depan konter. Menggigit bibir demi meredam kegugupan yang tiba-tiba muncul. Ternyata dia belum siap untuk berhadapan langsung dengan Atha setelah apa yang dia katakan tadi.

"Dia dengar omonganku di ruang tamu tadi nggak, ya?"

Karena sejujurnya, Thalia menyesal sudah berani mengungkapkannya di hadapan Atha meski tahu lelaki itu terlelap. Tetapi sisi lain batinnya berseru ketakutan bahwa seandainya Atha mendengarnya, mau ditaruh di mana wajahnya nanti?

"Iya, Pak. Lagipula saya cuma butuh istirahat sebentar. Besok juga udah sembuh."

Suara Atha yang mendekat membuat Thalia panik. Ia berusaha mencari kesibukan ketika dari sudut mata mendapati lelaki itu masuk ke dapur, mengacak-acak laci konter sebelum akhirnya Atha berdiri di sampingnya.

"Pak Fahri mau ngomong lagi," ucap Atha sembari mengembalikan ponsel Thalia. Gadis itu menerimanya terlalu kikuk sembari menggeser tubuhnya, membuat jarak. Suaranya mencicit yang secara tidak sadar menggelitik Atha.

"Iya, Om. Kemarin sih Tante Rosa kemari, tapi cuma sebentar. Nganterin makanan buat Lia abis itu ngobrol sedikit terus pulang."

Atha sudah berbalik kala mendengar laporan Thalia. Bibirnya menyeringai kecil mengiringi langkahnya membuka kulkas tak jauh dari jangkauan, mengambil sebotol air dingin dan hampir membukanya ketika tangan Thalia lebih dulu mencegah. Mengejutkan Atha karena melihat gadis itu masih menerima panggilan namun melotot padanya dibarengi gelengan keras. Merebut botol minuman tersebut untuk dikembalikan ke semula, menutup kulkasnya kemudian berdiri di sana, menghalangi akses Atha.

S P L E N D I DTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang