“You never realize how much you like someone until you watch them with or even like someone else.”
PAGI di hari ini, Thalia sudah keluar dari kamar mandi dengan handuk menggosok-gosok rambut basahnya. Berbelok ke ruang makan dan mendapati meja sudah terisi beberapa menu sarapan yang belum tersentuh termasuk segelas cokelat seduh yang masih hangat.
Tidak perlu dijelaskan lagi siapa yang membuat dan bagaimana Thalia menyikapi. Sudah ada lengkungan tipis di bibirnya sebelum terhalangi karena sekali tegukan yang semakin menghangatkan benaknya di pagi ini.
Sekali lagi, lelaki itu membuatnya tersenyum di awal hari ini. Entah mengapa perbuatannya yang lagi-lagi menenangkan ketakutannya bagai membekas di hati Thalia. Sampai Thalia merasa sangsi pernah tidur senyenyak semalam pasca diserang trauma. Bahkan Thalia lupa kapan dia pernah bermimpi indah setahun belakangan ini.
Thalia kembali meletakkan gelas minumannya. Berniat untuk masuk ke dalam kamar namun atensinya teralihkan pada pintu kamar sebelah yang sedikit terbuka. Pelan-pelan, berusaha tidak menimbulkan suara, Thalia pun mendekat dan menemukan wujud Atha di dalam. Duduk menghadapi keyboard elektroniknya yang tersambung oleh headphone hitam membungkus kedua telinganya. Kesepuluh jarinya bergerak lincah di sana, entah memainkan melodi apa, tetapi Atha tampak percaya diri memainkannya.
Sekali lagi senyum di bibir Thalia mengembang. Dia ingat kali pertama melihat Atha bermain grand piano di kafe kala itu. Tidak menampik hatinya tergerak untuk menjerit kagum di sepanjang penampilan lelaki itu. Bukan kebohongan bahwa Atha yang belajar sejak lama bisa menjadi pemain mahir seperti sekarang.
“Ngapain, hayo?”
Nyaris saja Thalia berteriak jika kontrol dirinya hilang sepenuhnya. Tepukan di bahu, menyusul suara halus seakan empunya memang sengaja, menyentak Thalia hingga mendelik begitu melihat Fahri sudah tersenyum jahil di belakangnya.
Thalia melupakan kenyataan bahwa pamannya itu juga berada di rumah hari ini.
“Om! Ngagetin aja!”
“Siapa suruh berdiri di sini? Ngintipin Megan 'kan, kamu?”
“O-orang pintunya kebuka! Li—Lia kira dia nggak ada di dalam!”
Fahri mencebikkan bibir. Matanya menatap sok polos pada Thalia ketika berkata, “Lagi telanjang dia, ya?”
“Enggak! Enak aja! Dianya lagi main keyboard di dalem, kok!” Thalia tak mampu mengontrol suaranya lagi. Wajahnya sudah semerah tomat. Tudingan Fahri yang seketika memamerkan senyum penuh kejahilan lagi, sudah cukup membuatnya gerah sendiri.
Langsung saja Thalia mengambil langkah seribu begitu Fahri mengetuk pintu kamar Atha. Meski pamannya hanya bermaksud mengajak lelaki itu sarapan, Thalia tidak mungkin menunggu wujud tubuh jangkungnya muncul setelah tertangkap basah seperti tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
S P L E N D I D
عاطفية[SUDAH TERBIT ; INDIE] Thalia akan tinggal bersama pamannya yang masih hidup sendiri di usianya yang sudah terlampau matang. Namun ternyata, ada orang lain yang sudah menemani paman gantengnya itu sebelum Thalia memutuskan untuk pindah. Jangan salah...