[14] What A Tiring Day

25.3K 1.9K 140
                                    

JIKA di waktu rehat banyak mahasiswa akan lebih memilih melepas penat, mungkin Thalia adalah pengecualian. Pasalnya sejak menemukan tempat duduk di kantin fakultas, Thalia lebih tertarik memindah coretan-coretan tangannya yang acak pada buku lain yang lebih layak untuk dibaca. Dia juga memasang pelantang telinga yang tersambung pada ponselnya yang memutar hasil rekaman diskusi pada pertemuan sebelumnya. Mencatat penjabaran yang dia tangkap untuk poin-poin coretannya yang lambat laun ia pahami. Tanpa peduli dengan keramaian khas yang jelas kontras dengan suasana belajar semestinya.

Tanpa disadari, Pevita yang duduk di hadapannya memandang bosan dirinya. Setelah mendiamkan dalam kurun waktu tak sebentar, tangan jahil Pevita beraksi menarik pelantang telinga Thalia, mengejutkan empunya hingga muncul raut terusik di wajahnya.

Your food is waiting. Lo lebih mentingin catatan yang bisa lo ulang di rumah ketimbang makanan yang cepet mubazir?” tegur Pevita seraya menggeser roti bakar milik Thalia, ke hadapan pemiliknya. “Roti bakar itu enaknya pas masih anget. Kalo udah dingin mah udah ganti nama rotinya!”

“Kamu tuh ya, ganggu aja.”

“Gue juga keganggu sama lo. Bikin selera makan gue berkurang nyaris setengah, tau? Lo bikin gue kayak orang paling males sedunia.”

Ucapan sarkas Pevita hanya dianggap lewat oleh Thalia. Beberapa minggu berteman dengan gadis itu sudah cukup bagi Thalia untuk memelajari bagaimana watak seorang Pevita. Meski ceplas-ceplos dan suka menohok, Pevita hanya mengatakan sebenarnya. Thalia tidak seharusnya terus tenggelam dengan buku catatan apalagi sampai mengabaikan teman yang jelas-jelas ada di hadapannya. Toh rehat sebentar tidak akan membuat Thalia keteteran sebenarnya.

“Iya deh, maaf. Ayo makan.”

“Telat. Punya gue udah mau abis.”

Thalia meringis melihat sepiring nasi goreng Pevita sudah tinggal beberapa suap lagi. Gadis berkacamata itu mengibaskan rambut sebelum menjejalkan mulutnya hingga mengembung sebelah.

“Ambekan,” ejek Thalia diiringi dengusan geli. Menyuap sepotong roti bakar cokelatnya yang sudah dingin seraya melirik Pevita yang menyeringai tipis. “Katanya habis ini kamu mau ke perpus pusat. Aku temenin, deh.”

“Itu sih emang kesenengan lo ngedekem di sana. Nggak perlu gue bujuk-bujuk juga lo langsung mau. Coba kalo gue ajak main ke fakultas lain, mau nggak lo?”

“Tergantung. Kalau di sana ada yang aku kenal, ya mau aja.”

“'Kan.” Pevita mencebik. Dia menyeruput es teh manisnya sebentar. “Lo aja meragukan kenal sama banyak orang. Dari kemarin-kemarin nempelnya ama gue mulu kalo lagi nggak tugas kelompok. Lo bahkan nggak tau kalo ada anak cowok di kelas kita yang diem-diem naksir sama lo.”

“Masa? Siapa?” Thalia jelas terperangah. Dia baru mendengar yang satu ini, langsung dari mulut Pevita.

“Ada lah pokoknya. Dia bahkan suka nanya-nanya ke gue. Nanyain nomor HP lo. Tapi karena gue baik hati nggak mau sembarangan bongkar privasi teman, nggak gue kasih. Jadi ya, lo cari tau aja sendiri.”

“Ih, kok gitu? 'Kan kamu yang tau, kok cuma ngasih hint doang sih?”

“Biar seru. Biar lo peka. So open your eyes from now! Banyak kok yang mau kenalan sama lo, tau!” Pevita mengerling aneh pada Thalia. Kembali menyeruput minumannya mengabaikan Thalia yang sudah cemberut menyantap roti bakarnya kembali.

Thalia justru merasa heran, di saat ia masih memakai tabiat lama dalam menutup diri, ada saja orang yang tertarik padanya. Memang apa yang menarik dari dirinya? Dia jadi penasaran, siapa yang sudah suka rela menarih rasa suka padanya.

S P L E N D I DTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang