"Is there such a thing as ending without start?"
–
BEGITU memasuki kelas, suasana berubah tenang memberi kesempatan Fahri untuk bernapas sejenak di meja guru. Sudah merupakan kebiasaannya untuk membuka buku absensi demi memeriksa kehadiran murid-muridnya sembari berbasa-basi sebelum memulai pelajarannya.
"Siapa yang tidak hadir hari ini?"
"Atha, Pak."
Bersamaan dengan salah satu suara yang menyahut, netra Fahri jatuh pada nama Megan Atharizz yang sudah dibubuhi pena merah bertuliskan alfa cukup banyak. Tanda bahwa empunya sudah lama tidak hadir tanpa diketahui alasannya.
Vernan mencolek bahu Gilang yang memang duduk tepat di depannya. Mencondongkan tubuhnya untuk berbisik, "Masih belum ada kabar juga itu anak ke mana?"
Gilang menoleh hanya untuk menggeleng. Sebelum akhirnya memandangi bangku kosong tepat di sebelahnya. Tempat duduk Atha. Tidak hanya dia, teman-teman lainnya pun tidak ada yang mengetahui kabar Atha. Ini bahkan sudah berganti pekan, sudah selama itu juga seluruh alternatif kontak Atha terputus.
Lelaki itu bagai menghilang ditelan bumi.
Fahri berdeham seraya menutup kembali buku absensi tersebut. Setelah mengeluarkan buku Matematikanya, Fahri segera berdiri yang otomatis menghentikan kasak-kusuk para murid.
"Bisa dimulai? Sudah sampai mana bahasannya kemarin?"
Meski sudah berniat untuk tidak peduli, pada nyatanya Fahri tidak dapat mengenyahkan rasa mengganjal akan menghilangnya Atha.
Bukan berarti Fahri sungguh tidak tahu. Dia jelas tahu ada di mana Atha saat ini. Kedua orangtua lelaki itu yang selama ini menaruh percaya padanya, justru memohon maaf atas pulangnya Atha ke rumah mereka dalam kondisi kacau balau.
Lalu berapa lama lagi Fahri harus menanggung rasa tidak peduli ini?
****
Fokus Thalia seketika buyar ketika Pevita datang membawa nampan berisi pesanan mereka. Segelas kopi langsung disuguhkan ke dekat bukunya. Bibir Thalia melengkung kecil seraya mengucapkan terima kasih untuk temannya itu.
"Belakangan ini kok lo jadi demen minum kopi sih, Tha? Mana mintanya kopi pahit mulu."
"Ini namanya espresso, Pev."
"Yeah, whatever, pokoknya itu kopi." Pevita menyantap siomaynya lagi, mengunyah sebentar, "Kalo keseringan malah jadi nggak bagus. Apalagi perut lo lagi kosong, asam lambung lo bisa naik, ntar."
Thalia tersenyum kecil. Menyembunyikan ringisan karena di waktu bersamaan perutnya menggerutu seakan mengerti ucapan Pevita. Sadar bahwa dirinya belum menjejalkan makanan berat apapun hingga detik siang ini.
"Nih, gue beliin satu lagi." Pevita tiba-tiba menggeser satu kotak styrofoam yang sama dengan miliknya. "Abisin pokoknya. Sekalian temenin gue makan. Berhenti dulu main laptopnya!"
Mendengar permintaan tak ingin dibantah Pevita, Thalia akhirnya menutup laptopnya, menggantinya dengan seporsi siomay pemberian Pevita. Thalia sempat melirik temannya dan melihatnya tersenyum senang.
"Makasih, ya. Nanti aku ganti."
Decakan bersama kibasan tangan menjadi jawaban Pevita sebelum mulai nyerocos.
"Ngeliatin lo makan aja udah jadi bayaran, Tha. Belakangan ini lo tuh jadi kutu buku banget. Bukannya makin pinter malah stres lo ntar."
"Aku justru lagi menghindari stres, tau." Thalia menjawab sambil lalu, menyantap siomaynya sebelum mengambil potongan jeruk nipis untuk dia bubuhkan. Mengabaikan Pevita yang sudah menaruh perhatian penuh padanya, menyipitkan matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
S P L E N D I D
Romansa[SUDAH TERBIT ; INDIE] Thalia akan tinggal bersama pamannya yang masih hidup sendiri di usianya yang sudah terlampau matang. Namun ternyata, ada orang lain yang sudah menemani paman gantengnya itu sebelum Thalia memutuskan untuk pindah. Jangan salah...