LANGKAHNYA yang begitu pelan menelusuri jalan setapak nan gelap. Pilar-pilar menyerupai rak buku menjadi lajur pengantarnya menuju suara sayup-sayup seperti bisikan bercampur tawa tertahan. Satu tangannya mencoba menyentuh dinding berkayu yang dingin, keyakinannya bahwa suara itu tepat di balik penghalau ini, menggerakkan tubuhnya untuk kembali maju perlahan-lahan.
Dia seolah bisa mendengar deru napasnya sendiri. Begitu berat dan tercekat. Matanya yang sudah tergenang perlahan mengabur seiring dengan irisnya menemukan siluet sumber kecurigaannya. Lalu begitu saja air mata di pelupuknya jatuh mengalir membasahi kedua pipi.
Di balik pandangannya yang semakin buram, dua orang itu menyatu tanpa jarak, terlalu rekat untuk dijadikan sebatas berdekatan. Menjadi bukti akurat akan betapa bodohnya ia selama ini. Menghempasnya jatuh ke dasar jurang pengkhianatan, menusuk tepat ulu hatinya dari belakang.
Dan, menghancurkannya hingga berkeping-keping.
...
Thalia tersentak membuka mata. Napasnya berburu oksigen secara rakus, udara di sekitarnya mendadak panas hingga muncul titik-titik peluh di pelipisnya. Untuk beberapa saat, pandangannya terpaku pada langit-langit putih, dan lambat laun kesadarannya muncul bahwa ia masih terbaring di tempat tidur kamarnya.
Hanya mimpi.
Aneh. Tidak biasanya Thalia akan bermimpi sesuram itu. Rasanya seperti deja vu di alam bawah sadar sampai terbawa ke permukaan. Karena kini Thalia merasakan jantungnya berdebar cepat, sungguh tidak normal.
Ia mencoba mendudukkan diri. Masih dengan napas tak beraturan, Thalia menangkup wajahnya, merasakan sisi-sisinya begitu lembab hingga segera ia seka. Padahal udara di pagi hari seperti ini tidak akan membuatnya sampai berkeringat sedikit pun.
“Aah, mimpi apa sih, tadi?” suara seraknya mencicit.
Segera saja Thalia turun dari kasur, melirik jam dinding kamar dengan jarum hitamnya menunjuk angka enam. Ia pun menyeret kakinya malas untuk keluar kamar, menuju ruang makan dan langsung mendudukkan diri di sana. Bukan untuk membasahi tenggorokannya yang kering, melainkan menjatuhkan kepalanya di meja dan kembali menutup mata. Hendak melanjutkan tidurnya.
Namun belum ada hitungan menit, hentakan sesuatu tepat di depan wajahnya kembali membuat Thalia terbangun. Menyusul sebuah tangan menangkup ubun-ubunnya agar ia mendengak hingga mata kantuknya menemukan sosok itu merunduk menatap dirinya.
“Bangun, cewek males.”
Mata Thalia melebar seketika, menegakkan tubuhnya segera yang berhasil menyingkirkan tangan Atha dari kepalanya, menyambut lelaki itu berkacak pinggang.
“Ka-kamu udah bangun?”
“Dan lo baru bangun. Udah liat sekarang jam berapa?”
Thalia melongo bodoh. “Jam enam, 'kan?”
“Mata lo udah melek belum, sih?” decak Atha. “Ini udah jam setengah sepuluh. Pak Fahri bahkan udah ngapelin gebetannya dari tadi pagi.”
“Hah?!” Thalia terlonjak bangun dari kursi. Orientasinya menghilang hingga Atha segera meraih lengannya, membantunya berdiri tegak. “Bohong kamu!”
Tapi mata Thalia segera berkeliling. Lebih tepatnya memeriksa jendela tepat di belakang Atha yang menghubungkan taman sebelah. Sinar matahari tampak terik di luar sana. Bersamaan dengan itu, Atha menunjukkan ponselnya yang menyala, menunjukkan waktu digitalnya memampang angka.
09:32
“Udah percaya?” Atha bertanya sarkas.
Ia ternganga. Terbangun di waktu seperti ini bukanlah gayanya. Sekalipun sedang masa libur, Thalia sudah akan bangun paling lambat pukul delapan. Pantas saja udara di kamar sudah pengap. Dia tidak membuka jendela sampai di waktu menjelang siang begini.
KAMU SEDANG MEMBACA
S P L E N D I D
Roman d'amour[SUDAH TERBIT ; INDIE] Thalia akan tinggal bersama pamannya yang masih hidup sendiri di usianya yang sudah terlampau matang. Namun ternyata, ada orang lain yang sudah menemani paman gantengnya itu sebelum Thalia memutuskan untuk pindah. Jangan salah...