“When my eyes looking at your face, I feel good about my day.”
–
ADA yang aneh dari tingkah Atha di pagi ini. Selain karena datang lebih pagi dibandingkan biasanya, lelaki itu sudah begitu serius menekuri ponsel pintarnya. Berselancar di jendela pencarian dengan pelantang telinga menyumpalnya seakan tidak membiarkan siapapun yang datang mencoba mengusik.
Bel masuk masih setengah jam lagi berbunyi. Gilang yang kebetulan pula datang lebih awal agak terheran mendapati teman sebangkunya itu sudah lebih dulu ada di sana. Mengundang rasa penasaran.
“Woy, tumben dateng pagian?” Gilang hanya mendapati Atha menoleh padanya sebentar. Lalu kembali berkutat dengan ponselnya. “Ngapain, dah? Pagi-pagi udah mainin HP aja. Nonton bokep, yak?”
Mata Atha berotasi. Masih bisa mendengar ocehan Gilang. Tapi terlalu malas untuk digubrisnya.
“Eh, iya. Kabar si Mbak gimana? Masih nginep di rumah sakit? Kemarin pulang sekolah gue sama anak-anak pengen jenguk malah kata lo lagi ada mamanya. Nggak enak kita.”
“Hm.”
“Elah, gue nanya sampe berapa kata yang keluar hem doang. Kok kezel, ya?” lagi-lagi Gilang tidak dihiraukan. Mulai penasaran, Gilang akhirnya melongokkan kepala mengintip layar ponsel Atha. “Set dah, pagi-pagi gini bacaannya udah berat banget kek rindunya Dilan. Lo lagi baca fiksi bahasa planet mana?”
“Ck,” mulai jera, Atha akhirnya meraup wajah Gilang menggunakan tangan besarnya. Mendorong si pengganggu menjauh. “Mending lo kerjain PR Fisika yang katanya belom kelar. Ganggu orang aja.”
“Si anjir, malah diingetin. Mau pura-pura amnesia gue padahal,” gerutu Gilang. Tetapi berikutnya, dia malah menarik-narik jaket Atha. Memasang wajah memelas. “Nyontek dong, Tha. Tinggal nomor dua sampe sepuluh yang belum gue kerjain.”
“Ngapain aja sih lo di rumah, ngerjain satu nomor doang?” dumal Atha mulai kesal. Temannya itu memang paling malas menuntaskan tugas mata pelajaran satu ini.
Kalau saja sedang tidak punya urusan, Atha pasti tidak akan menyerahkan buku tugasnya secara cuma-cuma. Tapi kini ia terpaksa mengeluarkan buku tulisnya dan menyerahkan langsung ke wajah Gilang yang sudah menyengir kuda, agar temannya itu berhenti mengusiknya.
Sejak kedua orangtua Thalia datang, mereka lah yang menjaga Thalia di rumah sakit. Atha memilih untuk berkunjung sepulang sekolah hingga jam besuk berakhir. Teman-temannya pun mengerti Atha mengesampingkan waktu berkumpul setelah tahu mengapa Thalia berakhir begini. Itu sudah menjadi berita hangat di antara mereka.
Pagi tadi, Thalia mengabarkan ingin berkuliah dan meminta tolong agar Fahri membawakan barang-barang yang diperlukan. Gadis itu sudah merengek tidak mau mengejar ketertinggalan lebih banyak lagi. Kebetulan, Atha ikut memersiapkan kebutuhan Thalia. Jadi Atha sedikit membongkar meja belajar Thalia hingga menemukan sesuatu yang menarik perhatiannya di dalam laci.
Sebotol obat dengan merk asing karena memang baru kali itu Atha melihatnya. Itulah mengapa sekarang Atha berselancar di situs pencarian, mencari tahu soal obat tersebut.
Mirtazapine ternyata golongan obat antidepresan yang memang tidak tersebar luas. Hanya dokter yang berwenang memberikan obat jenis itu beserta resep yang harus akurat. Kandungan formula tiap tabletnya yang memiliki dosis 15 mg itu terlalu berat untuk dikonsumsi sekalipun bagi orang dewasa. Dalam sehari, dibatasi 45 mg tablet sebagai maksimal konsumsi, tidak bisa lebih.
Obat tersebut memang biasa diberikan untuk penderita depresi, insomnia, maupun gangguan kejiwaan tertentu seperti PTSD yang pernah diderita Thalia. Itu menjadi alasan kuat mengapa Thalia menyimpan obat ini di kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
S P L E N D I D
Romance[SUDAH TERBIT ; INDIE] Thalia akan tinggal bersama pamannya yang masih hidup sendiri di usianya yang sudah terlampau matang. Namun ternyata, ada orang lain yang sudah menemani paman gantengnya itu sebelum Thalia memutuskan untuk pindah. Jangan salah...