[11] A Lonely Girl

27.4K 2.1K 120
                                    

THALIA duduk termangu di ruang tengah dengan televisi menyala. Pandangannya ke sana, namun fokusnya menghilang, melayang entah ke mana. Katakanlah dia jenuh di rumah seorang diri. Sudah mencari-cari kegiatan apa saja untuk membunuh waktu yang terasa berjalan lambat malah tidak bertahan lama.

Malam minggu yang membosankan seperti biasa.

Pasti banyak yang berpikir, anak muda seperti Thalia seharusnya tidak mendekam saja di rumah di malam seperti ini. Sayangnya, Thalia saja tidak memiliki teman bermain. Pevita? Dia belum bisa dikatakan dekat dengan gadis itu meski selalu menempel dengannya selama di kampus.

Jangan tanyakan di mana Atha sekarang. Pasalnya lelaki itu bahkan sudah keluar rumah sejak sore tadi dan belum kembali. Mungkin dia langsung bertolak ke kafe langganannya dan baru akan pulang pukul sembilan atau sepuluh nanti.

Thalia menjadi iri dengan lelaki itu. Punya banyak kegiatan dan teman. Sedangkan Thalia, membangun pertemanan saja susah, bagaimana mereka mau mengajaknya bergabung? Apalagi, Atha juga memiliki pacar. Sudah pasti lelaki itu banyak menghabiskan waktu di luar bersama sang pacar.

Aah, kenapa Thalia malah merasakan iri yang lain?

“Misi! Athaaa!!”

Seruan disertai ketukan nyaring di gerbang rumah menghenyakkan Thalia. Tidak hanya sekali, panggilan itu kembali terdengar yang kemudian Thalia sadari bahwa itu teman Atha. Segera saja dia keluar dan menghampiri sosok yang sudah familier baginya sedang berdiri di luar pagar.

“Eh, Mbak Thalia, Athanya ada?” Gilang memamerkan senyum lebarnya, yang malah dibalas kernyitan bingung dari Thalia.

“Loh? Bukannya Atha udah pergi?”

“Lah? Pergi?”

“Iya. Dari sore tadi, kayaknya sih nyambung ke kafe biasa tuh. Emang dia nggak bareng kamu?”

“Aduh, jangan bilang dia belum pulang.” Gilang menggaruk pipinya tampak berpikir. “Enggak sih, Mbak, tadi dia pergi dulu sama Laura. Cuma udah bilang minta dijemput di sini. Ya udah deh, Mbak. Mungkin dia udah ke kafe duluan,” ringisnya sembari mengangguk pamit.

Thalia hanya tersenyum kaku. Mendengar ucapan Gilang bahwa Atha ternyata pergi bersama Laura sedikit mengejutkannya. Tapi Thalia segera menepis itu dan berbalik. Tidak disangka Gilang akan kembali mendekati gerbang dan memanggilnya. Meminta atensinya.

“Ngomong-ngomong, Mbak sendirian di rumah? Saya dengar Pak Fahri lagi ngurusin lomba sampai malam. Kenapa Mbak nggak ikut aja?”

“Eh? I-ikut? Ke mana?”

“Ke kafe, Mbak. Lumayan buat menghibur diri daripada sendirian di rumah. Entar pulangnya sama Atha, gitu. Hehehe.” Detik berikutnya Gilang mengibas kedua tangan. “Jangan salah sangka dulu lho, Mbak. Saya nggak ada maksud macem-macem, cuma mau ngajakin Mbak liburan. Saya juga bakalan bawa Mbak langsung ke Atha, kok.”

“O-oh...,” giliran Thalia yang menggaruk pipi, ini karena dia merasa tidak enak. “Nggak usah. Itu 'kan acara kalian. Saya udah biasa sendiri di rumah, kok.”

“Yah, saya juga nggak bisa maksain sih.” Gilang meringis lagi. Bertepatan dengan itu muncul dua pemuda dari dalam mobil yang terparkir tak jauh dari gerbang rumah. Menghampiri Gilang seraya bersuara.

“Mana si Atha? Belum pulang, jangan-jangan.”

“Ditungguin lama amat. Keburu mulai entar.”

“Nggak ada di rumah. Kayaknya sih langsung ke kafe sama Laura. Ayuklah cabut.” Gilang menyuruh dua pemuda itu masuk kembali. “Ya udah, Mbak, pergi dulu, ya.”

S P L E N D I DTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang