KETIGANYA berkumpul di ruang tamu untuk waktu yang cukup lama. Saling berbagi cerita untuk bisa mengenal lebih dekat satu sama lain. Tak pelak sesekali akan muncul tawa sebagai tanda betapa mereka menikmati perkumpulan di kesempatan ini.
Thalia akhirnya mengetahui bagaimana pertemuan Fahri dengan Rosalina. Mereka dipertemukan di sebuah seminar nasional peringatan Hari Guru tahun lalu. Tidak disangka berikutnya akan terus bertemu di beberapa acara yang membuat mereka akhirnya saling bertukar nomor ponsel dan baru memutuskan untuk berkencan empat bulan lalu.
Thalia juga mengetahui seperti apa latar belakang Rosalina. Perempuan yang memiliki selisih usia cukup jauh dari Fahri, yaitu tujuh tahun, memiliki prestasi gemilang di dunia musik. Masa mudanya dulu sering mengikuti kompetisi piano hingga level nasional dan selalu membawa pulang piala ataupun medali.
Agak disayangkan memang, di usianya yang masih menginjak 27 tahun, Rosa memilih menggantungkan karirnya tersebut di masa emasnya. Karena ternyata jiwa untuk membimbing semakin besar hingga kini ia menjadi guru les piano merangkap guru musik di SMA. Namun bagi Thalia, niat perempuan itu jauh lebih tulus dibanding menjadi pemain piano terkenal.
“Murid Om Fahri juga bisa main piano, Tan.” Thalia tiba-tiba berkata demikian. Tersenyum kecil melihat Rosa tampak melebarkan mata. Tertarik.
“Ah, benar. Dia sampai punya grup musik di sekolahnya. Bagusnya lagi, grup musiknya udah jadi langganan di salah satu kafe.” Fahri menimpali, tampak bangga.
“Oh ya? Bagus sekali. Ternyata murid Mas nggak cuma pintar di sekolah, ya. Pantas aja Mas sering bangga-banggain dia.” Rosa tampak bahagia mengatakannya sebelum menggumam sesaat. “Hm, aku baru tau kalau nama murid kamu itu namanya Megan. Aku tadi nggak sengaja lihat papan nama di pintu kamar sana dan kata Thalia itu kamarnya.”
“Ya. Tapi anak itu nggak mau dipanggil Megan. Dia lebih senang dipanggil Atha. Thalia sendiri bahkan kena imbasnya.” Fahri terkekeh sebentar, melirik Thalia mengangguk sekaligus memberengut.
“Dia emang aneh, Tan. Lebih aneh lagi, Om Fahri lebih ngebela dia tiap Thalia lagi berantem sama dia. Kesannya tuh dia selalu benar daripada Thalia di mata Om Fahri. Apalagi, dia sering keluar rumah buat nongkrong sama teman-temannya. Om Fahri nggak pernah melarang.”
“Eii, Om nggak bermaksud begitu. Kamunya aja yang selalu berpikir negatif soal dia. Megan itu nggak seperti yang kamu pikir, Lia. Lagipula Om itu mengenal kamu juga Megan. Jadi Om berusaha memberi pengertian ke kamu, juga ke dia.” Fahri membela diri. “Megan memang cuma membiarkan Mas yang manggil dia begitu. Katanya sih, karena Megan itu seperti nama perempuan. Jadi, Rosa, nanti kalau kamu ketemu sama dia, lebih baik panggil dia Atha daripada dia musuhin kamu nanti.”
Fahri melihat Rosa mengangguk dan ikut terkekeh. Namun Fahri tidak tahu bahwa perempuan itu meremas tautan tangannya di pangkuannya.
Dan Fahri juga tidak tahu bahwa Thalia tersenyum miris untuk sesaat. Mengulang kembali ucapan Fahri yang baginya tidak sepenuhnya benar. Mengenai nama panggilan lelaki itu.
****
Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore ketika Rosa dan Fahri keluar dari rumah diiringi Thalia. Banyak obrolan yang mereka angkat membuat waktu tidak terasa berjalan cepat. Fahri merasa lega karena melihat Thalia sudah menerima Rosa. Mereka bahkan bisa dibilang sudah cukup akrab saat ini.
Apalagi nampaknya Thalia tidak segan-segan menceritakan beberapa masalahnya seperti urusan masak-memasak. Sampai-sampai Rosa memberikan tawaran untuk mengajarinya memasak di pertemuan berikutnya nanti.
“Kalau Tante ada kesempatan bisa datang lagi, nanti kita belajar bareng. Tante punya banyak resep praktis yang bisa kamu pelajari dengan mudah.”
KAMU SEDANG MEMBACA
S P L E N D I D
Romansa[SUDAH TERBIT ; INDIE] Thalia akan tinggal bersama pamannya yang masih hidup sendiri di usianya yang sudah terlampau matang. Namun ternyata, ada orang lain yang sudah menemani paman gantengnya itu sebelum Thalia memutuskan untuk pindah. Jangan salah...