[27] Save Me

23K 2K 181
                                    

You moved my cold heart .. You made my heart cry
That person is definitely you...


BUTUH waktu tak sebentar hingga akhirnya Pevita memutuskan untuk kembali masuk ke dalam ruang medis milik FISIPOL. Dia menemukan Thalia duduk memeluk kedua lututnya di atas tempat tidur, tampak tenang dan mungkin terlelap dalam posisi demikian.

“Tha, tidurnya yang bener, dong. Badan lo malah sakit ntar.” Pevita sudah merengkuh punggung Thalia, namun ia tertegun merasakan tubuh temannya itu kaku sekali. “Tha, jangan begini, ah. Sini, gue bantuin. Atau lo mau pulang aja? Gue anterin deh, gue panggilin taksi dulu, tapi.”

Tidak ada jawaban. Thalia tetap bergeming dalam posisinya. Membuat Pevita mendesah cemas sebelum matanya bertamu pada Alres yang menyusul masuk dan berdiri di dekat sekat tirai. Gadis berkacamata itu menggeleng lemah dengan tangan mengusap-usap punggung Thalia.

Alres termenung. Ingatannya kembali kala ia menemukan Thalia hilang kesadaran di dekapan gadis yang dia cukup kenal bernama Keisha, salah satu anggota panitia PPSMB kemarin. Keisha berteriak meminta tolong juga histeris mengusir lelaki yang sempat bersama mereka-seperti tidak diizinkan untuk menyentuh apalagi menolong Thalia. Itulah mengapa Alres segera mengambil alih membawa Thalia kemari.

Jangan sentuh Thalia dengan tangan kotor kamu! Pergi! Thalia nggak butuh pertolongan kamu! Pergi!!!”

Alres jelas masih ingat seruan pedas Keisha untuk lelaki asing itu. Membuat Alres bertanya-tanya, siapa sebenarnya lelaki itu? Sepertinya dia mengenal Keisha, apalagi Thalia. Perawakannya begitu tenang namun penuh dengan kemisteriusan yang justru menimbulkan curiga di benak Alres. Mungkinkah dia mahasiswa sini? Kenapa Alres belum pernah melihatnya sebelum-sebelumnya?

Suara embusan napas berat Pevita cukup menggema di ruang kesehatan yang sunyi ini. Gadis itu menemukan ponsel Thalia tergeletak di dekat kaki empunya dan berniat untuk memasukkannya ke dalam ransel Thalia namun segera urung. Gadis itu segera berdiri dan tanpa berpikir dua kali menjawab panggilan dari ponsel Thalia. Nada bicaranya begitu pelan namun berubah serius hingga menarik perhatian Alres.

“Ini temennya Thalia. Ah, lo langsung ke FISIPOL aja. Dia ada di ruang kesehatan sini.”

****

Dunia Thalia meredup lalu gelap gulita. Terperosok sekali lagi ke dalam memori kelam yang membludak. Secercah harapan pun tak mampu menyusup masuk karena begitu pekatnya ketakutan yang menguasai dan membekukan raganya. Bayang-bayang kelam yang ingin dilupakan seolah mengikatnya untuk terus menghantui. Seperti mengancamnya jika mencoba bergerak sedikit saja maka ia akan hancur sekali lagi.

Thalia seolah dibuat mati rasa. Dunia luar kembali menakutkan dan berbahaya baginya. Walaupun hatinya terus menjerit meminta tolong, tidak ada siapapun yang mampu mengulurkan tangan untuknya. Bahkan suara di luar sana hanya berupa dengungan yang tak mampu menembus perisai traumanya.

"Tha."

Tidak ada siapa pun.

"Thalia."

Siapa pun...,

“Tha, ini gue.”

Thalia membuka mata. Saat itu juga seluruh indera di sekujur tubuhnya kembali hidup, mulai merasakan guncangan pelan di bahunya, sekaligus sentuhan di puncak kepalanya. Suara familier itu kembali memanggilnya, mengisi kesadarannya sedikit demi sedikit untuk perlahan mengangkat wajahnya yang bersembunyi di balik lipatan tangan. Lalu maniknya yang hampa melebar terpana.

S P L E N D I DTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang