“You making me lost control.”
PETIKAN bass secara asal menjadi dengungan terakhir sebelum Justin mengabaikan alat musik andalannya tersebut. Perhatiannya berpindah pada lelaki yang tengah mengenakan jaket abu-abunya, memeriksa ponsel pintarnya sebelum menyimpannya ke dalam saku celana.“Abis ini balik lagi nggak lo?”
Pertanyaan Justin berhasil menghentikan gerak-gerik Atha. Bertepatan dengan itu, Satria—yang tengah memainkan stik drum—dan Vernan—yang sedari tadi serius memetik gitar akustiknya—kompak ikut memandangnya seperti Justin.
“Liat aja ntar.”
Lalu cebikan mengejek keluar dari mulut ketiganya nyaris bersamaan.
“Berarti enggak.” Vernan menyimpulkan. “Kalo ngejawabnya udah ngambang kayak tai gitu biasanya lo punya urusan lain ketimbang latihan.”
Lalu seruan nyaring dari cymbal yang dipukul sekali oleh Satria mengiringi tawa. “Bau-baunya minta disiram gitu ya, Nan. Abis itu dibakar sampe mampus,” selorohnya yang menambah kadar gelak tawa ketiganya.
Atha berdecak sebal. Tangannya bergerak cepat meraih apapun yang ada di dekatnya, menemukan jaket milik Vernan untuk kemudian melemparnya kencang hingga mengenai kepala Justin.
“Ya elah, Tha, kelakuan lo malah makin kebaca, tau nggak?” Justin melempar balik jaket tersebut, tersenyum miring melihat Atha sigap menangkapnya.
“Yah, anjir, jaket gue bukan buat dijadiin buntelan, kali!” celetuk Vernan. Berujung dengan umpatan karena Atha kini melempar jaketnya tepat ke arahnya.
“Berisik pada. Gue pulang!” tutup Atha menekan seraya melangkah menuju pintu.
Namun Justin lebih cepat menahannya, menariknya untuk didorong hingga terduduk di sofa. Atha menggeram hingga melepas tudung jaketnya, demi melempar pelototan tajam untuk temannya itu. “Apaan sih lo?!”
Satria dan Vernan ikut mendekat. Bersama Justin, Vernan duduk mengapit Atha, sedangkan Satria menarik kursi untuk kemudian duduk tepat menghadap Atha. Ketiganya kompak mengurung lelaki itu.
“Ngaku aja deh, Tha. Apa susahnya sih ngomong? Kayak orang asing aja lo sama kita,” cerca Justin.
“Ngomong apaan emang, hah?”
“Lo suka sama si Mbak.”
“Mbak yang tinggal seatap sama lo.”
“Mbak Thalia ponakannya Pak Fahri. Gue jelasin sejelas-jelasnya biar lo nggak pura-pura amnesia sampe kudu di-pending kayak di group chat.”
Decakan disertai mata berotasi adalah reaksi Atha atas cercaan Vernan, Satria juga Justin secara beruntun.
“Nggak usah ngelak deh, Tha. Setelah beberapa kali kita perhatiin, lo tuh bakalan lupa sama semuanya setiap si Mbak lagi ada di antara kita.” Satria meletakkan jemarinya yang membuat lingkaran di sekitar mata. “Mata lo berubah kek mata kuda, cuma ngeliat satu arah, yaitu si Mbak.”
“Nah, itu!” Vernan menjentikkan jari
“Sepanjang kita temenan, gue belum pernah ngeliat lo kayak gitu ya, Tha. Lo bahkan nggak pernah segitu perhatiannya sama Laura yang dari dulu nempelin lo ke mana-mana. Lebih tepatnya, lo nggak pernah mau gerak duluan tiap Laura lagi butuh. Sedangkan si Mbak, tanpa dia minta pun lo bakalan nolongin dia,” papar Justin serius. “Lo bahkan bisa segitu marahnya karena si Mbak nangis ketakutan sampe ngamukin orang kayak kemarin.”
“Jadi bener lo ngehajar orang kemarin itu karena si Mbak? Emang tuh orang siapanya si Mbak?” tanya Vernan yang malah mendapat lirikan sinis dari Atha.
KAMU SEDANG MEMBACA
S P L E N D I D
Romance[SUDAH TERBIT ; INDIE] Thalia akan tinggal bersama pamannya yang masih hidup sendiri di usianya yang sudah terlampau matang. Namun ternyata, ada orang lain yang sudah menemani paman gantengnya itu sebelum Thalia memutuskan untuk pindah. Jangan salah...