HAL pertama yang dilihat Thalia begitu membuka tirai mata adalah langit-langit putih kamarnya, seolah menggambarkan suasana hatinya yang terasa ringan di pagi ini. Saat mengucek mata pun, Thalia bisa merasakan bibirnya melengkung kecil lalu membiarkan dirinya terpejam untuk beberapa saat. Meresapi ketenangan yang rasanya baru kali ini hinggap di batinnya.
Padahal, baru kemarin Thalia dilingkupi ketakutan amat sangat akan traumanya yang kembali. Tetapi kini Thalia seakan telah menjalani berbulan-bulan terapi dan sembuh sekali lagi. Apa lagi jika bukan kata-kata lelaki itu yang kembali memenuhi kepalanya.
"Kalo emang gue bisa diandalin buat lo, gue bakal lakuin sebisanya buat nolongin lo."
"Terlepas dari tau atau enggaknya gue soal masalah lo, terlepas dari lo mau kasih tau atau enggak soal masalah lo, selama gue sanggup, gue bakal datang."
Layaknya melodi yang mampu mengembangkan hati, menutup lubang menganga di batinnya dan mengisinya dengan udara kedamaian sebagai jaminan. Bahkan kali pertama Thalia dinyatakan sembuh, tidak ada perasaan senyaman ini yang diberikan oleh Atha.
Thalia mendudukkan diri dan termangu pada sebotol obat yang sengaja dia siapkan di dekat tempat tidur. Semalam, dia berpikir akan mengonsumsinya lagi untuk membantunya tidur dengan tenang, tetapi Thalia mampu terlelap hanya dalam sekali terpejam tanpa takut.
Tidak ada lagi bayang-bayang yang selalu menghantuinya.
Jadi Thalia menyimpannya kembali ke laci meja belajar, menghirup udara dengan ringannya, mengantar senyum di bibirnya mengembang sekali lagi sebelum menghilang dengan cepatnya begitu melihat jam dinding kamarnya.
Pukul delapan lewat sepuluh.
"Ya ampun, aku telat!!"
Thalia menyambar handuk menggantung di balik pintu sebelum menjeblaknya. Baru saja mengambil ancang-ancang ingin melesat ke kamar mandi ketika matanya lebih tertarik melihat pintu di sebelah juga terbuka dan menampakkan Atha keluar dari sana dan tertegun menemukan keberadaannya. Sama seperti dirinya.
"Loh, kamu kok ada di sini? Ngapain? Kamu nggak sekolah?!"
"Kesiangan."
Thalia melongo kaget. Sedang Atha melengos pergi ke dapur. Tidak disangka bahwa Thalia akan mengekori setelahnya.
"Kamu kesiangan juga? Baru bangun juga?" Lalu tidak sengaja atensi Thalia teralihkan pada meja makan yang sudah diisi beberapa makanan. "Ini kok ada sarapan? Kamu yang buat?"
"Seenggaknya gue masih inget lo bakal kelaperan sekalipun bangun kesiangan."
"Seenggaknya kamu bangun lebih dulu 'kan, tadi? Kok nggak bangunin aku? Aku ada kelas jam delapan, tau!" Thalia menghentakkan kaki kesal. Lelaki itu sabatas mengedikkan bahu sebelum meneguk minuman dari kulkas, menguras emosi Thalia hingga begitu saja ia memukul lengan lelaki itu. "Aku telat, Atha!!"
Atha berdecak seraya merotasikan mata. Tangan bebasnya berhasil meraih lengan Thalia sebelum gadis itu benar-benar pergi.
"Bangunin juga percuma. Lo tuh siap-siapnya lama." Atha segera menempelkan gelas minumnya yang dingin ke kening Thalia, meredam niat protes gadis itu. "Lagian lo emang butuh istirahat setelah kemarin pingsan terus nangis sampe malam. Nanti kalo lo begitu lagi, gue yang kewalahan, tau?"
KAMU SEDANG MEMBACA
S P L E N D I D
عاطفيةThalia akan tinggal bersama pamannya yang masih hidup sendiri di usianya yang sudah terlampau matang. Namun ternyata, ada orang lain yang sudah menemani paman gantengnya itu sebelum Thalia memutuskan untuk pindah. Jangan salah sangka. Ini bukan ceri...
