PAGI menjelang siang di akhir pekan ini, Fahri sudah memegang secarik daftar kebutuhan bulanan yang perlu dicarinya. Dengan mengajak dua penghuni di rumahnya ke pusat perbelanjaan megah di kota, pria itu dengan semangat menelusuri hampir setiap bagian lokasi layaknya ibu-ibu rumah tangga yang gemar berbelanja.
“Megan, ambilin deterjen, yang besar sekalian.”
“Pewanginya juga. Ambil yang hitam. Itu paling wangi soalnya.”
“Sabun colek habis juga, 'kan? Ambil yang besar, dua aja.”
“Ah! Lia, sikat gigi! Yang isi tiga sekalian, biar punya kamu juga diganti.”
“Tapi, Om, punya Lia masih bagus sikat giginya.”
Fahri melotot seketika. Jari telunjuknya bergoyang cepat seiring dengan kepalanya yang menggeleng-geleng. “Kamu harus biasain buat ganti sikat gigi tiap tiga bulan sekali. Sebagus apapun itu, kalau udah kelamaan tetap nggak bagus buat gigi kamu. Kuman udah bersarang banyak, tau?”
Thalia mengangguk paham. Mengambil satu bungkus berisi tiga sikat gigi bermerk ketika Fahri yang sudah melangkah kembali berbalik.
“Sekalian shampoo-nya ya, Lia. Yang besar sekalian, yang itu. Kalau kamu mau ambil buat sendiri juga nggak apa-apa. Om mau nyari minyak goreng dulu.”
Thalia sudah berdiri di depan deretan shampoo dari berbagai merk. Matanya yang berkelana menemukan shampoo biasa dia pakai terlebih dahulu dan segera mengambilnya. Sedangkan shampoo yang biasa Fahri pakai ternyata ada di bagian teratas untuk ukuran terbesarnya.
Thalia mengembungkan pipinya karena di percobaan pertama tangannya terulur tidak berhasil menggapainya. Kondisi kakinya yang terluka pasca kecelakaan kemarin masih membekas sehingga nyeri di tungkai bawah terasa sekali ketika mencoba menjinjit.
“Aduh!”
Rintihan sakit keluar begitu saja dari mulut Thalia. Tidak kuasa menahan berat tubuhnya lebih lama. Tubuhnya hampir meluruh jatuh jika tidak ada tangan yang merangkul bahunya, sedang tangan lain mengambil alih tugasnya.
Atha kemudian menyambar botol shampoo di tangan Thalia untuk diletakkan ke dalam troli. “Apa lagi yang perlu diambil?”
“Eh? Ah ... e-enggak ada. Udah.” Thalia melarikan pandangannya ke troli, menggeser diri menjauh dari tubuh menjulang Atha tanpa berani untuk mendongak lagi. Membiarkan sudut matanya yang mengawasi lelaki itu kembali mendorong keranjang beroda tersebut berbelok ke bagian lain.
Thalia pun menangkup satu tangannya di dada. Detak jantungnya kembali berulah. Sejak menyadari perasaannya dan Atha ternyata mendengar ungkapan hatinya kala itu, Thalia tidak lagi mampu mengabaikannya hingga muncul ketakutan tersendiri bahwa Atha akan menertawakannya bila mendengar reaksi berlebihan ini.
Namun di sisi lain Thalia juga bertanya-tanya, jika Atha mendengar semuanya, bukankah itu berarti Atha juga mendengar Thalia menyinggung nama Rosalina?
Sekali lagi Thalia memukul kepalanya sebelum beranjak pergi. Mana mungkin Atha mau membahas masalah itu? Seharusnya Thalia tidak perlu terlalu ikut campur dan menghindari lelaki itu mulai dari sekarang. Itu lebih baik.
“Thalia?”
Tubuh Thalia berjengit kaget sebelum kepalanya menoleh dan terperangah melihat sosok itu ada di sini. Terpana juga menemukannya. “Daniel?”
Senyum khas lelaki itu pun terbit seketika. Mengiringi langkah cepat dan ringannya untuk mendekat dan membiarkan tubuh tingginya menghalau Thalia. “Kebetulan banget ketemu di sini. Belanja juga? Sama siapa?”
“Ah, i-iya, sama om aku. Belanja bulanan.” Thalia tertawa sebentar. “Kebetulan banget, ya, bisa ketemu di sini. Kamu sendiri atau sama siapa?”
KAMU SEDANG MEMBACA
S P L E N D I D
Romantik[SUDAH TERBIT ; INDIE] Thalia akan tinggal bersama pamannya yang masih hidup sendiri di usianya yang sudah terlampau matang. Namun ternyata, ada orang lain yang sudah menemani paman gantengnya itu sebelum Thalia memutuskan untuk pindah. Jangan salah...