"Feelings are unpredictable. They flows like water which can stuck or just passes by."
ROSA memasuki kafe dan disambut oleh denting piano yang mengalun lembut. Bibirnya otomatis tertarik kecil melihat siapa yang tengah memainkannya. Ia merajut langkah mendekati panggung di mana orang itu masih fokus melantunkan nada demi nada yang berhasil menghipnotis hampir seluruh pengunjung di sini.
Lalu suara tepuk tangan terdengar begitu ia menyelesaikan permainannya. Ada senyum kepuasan terpatri di wajahnya sebelum menghilang bersamaan dengan matanya menemukan keberadaan Rosa. Sedangkan Rosa berusaha untuk menyapa dengan ulasan ramahnya.
"Kakak tau dari Mas Fahri kalau kamu suka tampil di sini."
Adalah ucapan pertama Rosa setelah mereka berhasil duduk berhadapan. Sengaja mengambil meja di lantai atas agar lebih tenang. Juga menghindari omongan teman-teman Atha yang mulai menaruh penasaran.
Atha sendiri tidak bicara. Setelah memilih untuk menghadapi kenyataan bahwa Rosalina masih berusaha menghubunginya seperti ini, Atha kira memang sudah seharusnya dia tidak melarikan diri lagi.
"Ternyata benar, kamu masih suka bermain piano. Katanya, kamu juga ambil peran bermain keyboard di band kamu. Kamu benar-benar manfaatin bakat kamu sampai berkembang kayak sekarang. Kakak turut senang lihatnya."
Atha masih enggan membuka mulut. Hanya menatap datar perempuan itu seakan menunggu sebenarnya apa tujuan Rosa mengajak Atha bertemu di sini. Dan Rosa menyadari itu. Dia harus meremas kedua tangannya yang saling bertaut di pangkuan.
"Kakak harus meluruskan semuanya mengingat kita mungkin akan sering bertemu. Karena bagaimana pun juga, Kakak menjalin hubungan dengan Mas Fahri. Kakak nggak mau hubungan kita kayak gini, Megan. Saling diam dan saling menghindar.
"Kakak minta maaf untuk semua perbuatan Kakak dulu. Kakak udah nyakitin perasaan kamu. Kakak sadar, sikap Kakak dulu sangatlah nggak dewasa dalam menanggapi perasaan kamu. Seharusnya Kakak nggak pernah melontarkan kata-kata itu dan berujung buat kamu kecewa."
Rosa menunduk hanya untuk mengatur mimik wajahnya yang terbawa akan rasa bersalah mendalam. Lalu kembali menatap lelaki yang masih belum memberi reaksi apapun padanya.
"Tapi kamu perlu tahu, Kakak nggak menghindar. Sejak itu, Kakak sadar kalau ucapan Kakak fatal. Kakak mau minta maaf tetapi kamu justru nggak pernah balik lagi ke tempat les. Sedangkan di waktu bersamaan, Kakak memang harus pergi karena dapat tawaran belajar di Singapura.
"Kakak coba hubungin kamu tapi nggak bisa. Kakak sadar sepenuhnya kalau Kakak udah menyakiti kamu, bahkan buat kamu berbalik membenci Kakak." Rosa dengan sorot nanarnya, memohon pada Atha agar mau bicara. "Kakak benar-benar minta maaf, Megan. Tolong maafkan Kakak. Kakak mau kita mulai dari awal lagi, berhubungan lebih baik dari yang dulu."
Barulah Atha bereaksi. Menghela napas panjang disertai tarikan samar di bibir.
"Saya udah anggap semuanya berlalu. Mungkin memang rasanya sulit untuk diterima. Tapi seiring berjalannya waktu, saya anggap kalau ucapan Kakak memang ada benarnya."
"Tapi nggak seharusnya Kakak bicara begitu ke kamu saat itu."
"Saya ngerti. Kakak mungkin merasa pengakuan saya terlalu aneh. Saya yang dulu masih tiga belas tahun dengan lancangnya bilang suka ke Kakak yang jauh di atas saya. Saya juga sadar setelah itu, kalau itu terdengar memalukan dan pantas aja Kakak menolak."
"Megan...."
"Awalnya memang kedengaran menyakitkan. Saya juga menghindar karena saya malu untuk ketemu Kakak. Saya tau kalau sikap saya sangat kekanakan saat itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
S P L E N D I D
RomanceThalia akan tinggal bersama pamannya yang masih hidup sendiri di usianya yang sudah terlampau matang. Namun ternyata, ada orang lain yang sudah menemani paman gantengnya itu sebelum Thalia memutuskan untuk pindah. Jangan salah sangka. Ini bukan ceri...
