Please follow, vote, comment, dan rekomendasiin cerita ini ke temen2 kamu yg lain :)
Selamat Membaca :)
"Ndak bisa dipikirkan lagi, Ka?" Aku menggeleng, lalu mengigit sudut bibir bawahku tak yakin. Laki-laki yang sebagian rambutnya sudah memutih itu membuka kaca matanya, lalu mengusap wajahnya keberatan. Dibacanya lagi surat pengunduran diriku. Ya, beliau pasti kecewa. Aku datang ke pesantren ini karena beliau, setelah beberapa kali mengikuti kajiannya di komplek dekat rumah. Ayah dari laki-laki yang kemarin hampir menikahiku. Pemilik pesantren ini.
"Ini karena pernikahan yang gagal?" tanya Beliau memastikan. Aku menunduk makin dalam. Kedua tanganku sibuk meremas tali tas biru gelap yang kupangku. Tidak berani menjawab, meski dengan anggukan kepala.
"Abi minta maaf," ujarnya lirih. Beliau bahkan tak sungkan lagi menyebut dirinya 'Abi' padaku, disaat orang satu pesantren menyebutnya 'ustadz'. Aku tahu beliau merasa sangat bersalah.
"Ini bukan salah Ustadz," jawabku dengan nada sumbang. Menjaga raut wajahku agar tak terlihat menyedihkan ternyata bukan soal mudah. Tapi aku jujur. Ini bukan salah beliau. Aku bisa membaca kebahagiaan pada binar matanya, saat mengantar anaknya datang melamarku ke rumah. Meski Reza hanya anak tirinya, tapi ketulusan tak perlu diragukan lagi dari caranya menyayangi Reza. Reza bahkan mewarisi banyak sifat Ayah tirinya ini, dengan garis wajah yang terlihat hampir sama. Aku pasti tertipu jika tak ada yang memberitahuku.
"Jelas ini salah keluarga Abi. Sungguh, Abi ingin sekali kalian menikah." Aku terdiam. Sesekali menyusut airmata yang diam-diam menyeruak.
"Tentu saja bukan, Ustadz. Sederhananya, berarti bukan saya tulang rusuknya," jawabku dengan senyum mengembang yang dipaksakan. "Saya akan tetap mengajar di pesantren ini, sampai Ustadz mendapatkan gantinya," lanjutku hati-hati.
"Baiklah, kalau ini keputusan finalmu. Abi tidak bisa memaksamu, kan?" Aku mengangguk samar, lalu berpamit pulang.
"Lihat, apa yang sudah Umi lakukan! Milka bahkan mengundurkan diri dari pesantren. Apa yang Umi lakukan itu keterlaluan." Aku baru saja menutup ruangan Ustadz Rizal, ketika bentakan itu membuatku mematung.
"Apa yang keterlaluan? Kamu harus ingat, bahwa buah tidak jatuh jauh dari pohonnya."
"Oh ya? Umi lupa kalau ayah Nabi Ibrahim adalah penyembah berhala, dan Nabi Nuh memiliki anak yang mengingkari dakwahnya? Kalau Umi yakin aku anak baik-baik, harusnya Umi yakin aku akan mendapatkan jodoh yang juga baik-baik. Itu janji Allah, kan?"
"Kalau begitu, kamu juga lupa seperti apa istri Nabi Luth? dan seperti apa Fir'aun, suami dari wanita setaat Asiyah binti Mazahim?"
"Itu tidak membuat Umi bisa menilai Milka dengan perbuatan orang tuanya. Kalau Umi nggak bisa mengerti perasaan Reza, Reza juga bisa seperti itu."
"Reza! Ini bukan hanya soal pekerjaan ibunya dulu. Tapi juga tentang bagaimana ayahmu dulu tergoda karena dia. Kamu nggak mengerti perasaan Umi. Melihat wajahnya mengingatkan Umi pada peristiwa yang membuat keluarga kita hancur berantakan. Karena wanita itu kamu harus berpisah dengan Papamu!!"
Tubuhku terkulai mendengar teriakan itu. Jemari yang tadi kuat-kuat mencengkram tali tasku, kini sudah terlepas. Berpindah pada tembok disampingku untuk menopang tubuh. Irama jantungku benar-benar sudah keluar dari ritmenya. Apalagi ini?
***
"Jangan suka begadang, Ka! Tubuhmu perlu istirahat." Bunda menjauhkan cangkir kopi yang baru saja akan kuraih. Beliau menggantinya dengan lavender tea, dan satu piring waffle yang menggugah selera.
KAMU SEDANG MEMBACA
The One That Got Away
SpiritualSebaik apapun mereka, aku hanya bisa memilih satu, atau menyakiti keduanya. Karena aku tidak bisa menjadikan dua matahari sekaligus dalam satu langit. Hanya akan ada satu yang bersinar, membagi banyak cercah hangat cahayanya untukku. Tapi bagaimana...