Part 44

1.2K 124 55
                                    

Jangan lupa follow, vote, dan comment yaaaaw...
Hectic gais, aku nungguin vote 100 juga lama banget ngetttt ternyataaa...
Next chapter sampe 100 vote???

Heppi riding :)

***
Cuaca pagi ini tak sesendu kemarin. Meski terbangun dengan wajah bengap dan mata yang membengkak, tapi setidaknya aku bisa melihat seberkas cahaya mentari yang perlahan muncul dari ufuk timur. Jalanan basah sisa hujan semalam juga makin tak terlihat sesampainya aku di kantor. Sebelum memasuki gedung tinggi itu, aku memandangnya sejenak. Berusaha meyiapkan kalimat selamat tinggal sebelum surat pengunduran diriku benar-benar resmi di setujui.

Aku mendadak kikuk saat teman-teman se-divisi ku memandangku serempak secara terang-terangan begitu aku sampai. Seharusnya aku tidak perlu terkejut. Aku belum lupa seberapa murahan drama yang baru kumainkan kemarin.

“Selamat pagi,” sapa Felly ceria. Tiba-tiba semua temanku mendekat dengan wajah penasaran tetapi juga memasang raut sumringah. Seolah bukan tangisku kemarin yang ingin mereka tanyakan.

“Aku sedang nggak ingin menjawab apapun,” seruku judes sebelum mereka menyerangku dengan pertanyaan.

“Siapa juga yang mau tanya ke eloo...” sahut Anan sewot seraya menyambar kopiku yang belum lama ku letakkan di atas meja.

“Hey!!! Itu kopi gueee...” protesku sebal. Aku memukul pundaknya kesal dengan lembaran naskah yang belum selesai kubaca.

Anan menjauhkan kopi itu dari jangkauanku, takut cairan berwarna hitam pekat itu tumpah mengenai kemeja biru langitnya. Lalu meletakkan paper bag bercorak batik diatas mejaku. “Nih, gantinya,” katanya.

“Hah?” Aku mengerutkan dahi tak paham. Sejak kapan dia perhatian sekali padaku?

“Jangan GR dulu. Itu bukan dari gue, tapi dari Pak Elzan. Gue juga dapet titah buat ini,” katanya seraya menyeruput kopiku yang masih mengepul tanpa merasa bersalah. Menyebalkan.

“Apa-apaan, sih? Nggak lucu tau!!” protesku makin sebal. Nggak mungkin paper bag itu dari Elzan. Aku tahu benar seberapa hancur hatinya sekarang, dan itu karena aku. Jadi nggak mungkin dia masih mau repot-repot menyiapkan beberapa potong sandwich, buah-buahan segar, dan dua gelas susu kemasan dengan rasa vanilla dan pisang untukku.

“Pak Elzan benar tahu Mbak Milka, kopi itu nggak sehat kalau terlalu sering di konsumsi. Lagian, hitung-hitung belajar patuh sama calon suami, Mbak,” sahut Nadine seraya mengerlingkan matanya menggodaku. Membuat yang lain terkikik geli. Apa-apaan, sih, mereka? Pasti ada gosip miring tentang aku pagi ini.

“Apaan sih? Ngaco banget,” kataku sewot. Aku mulai menghidupkan komputerku, berusaha menganggap mereka tidak ada.

“Seberapa ngaco kita?” kata Felly yang tiba-tiba mendekatkan wajahnya pada wajahku membuatku mendadak ngeri dengan tatapan intimidasinya. “Jadi, seberapa lama waktu yang lo rencanakan buat menyimpan kejutan ini dari kita-kita?” tanyanya serius seraya mengeluarkan sebuah undangan mewah berwarna biru dan pink dengan pita merah yang terlihat begitu cantik. Sebelum aku membaca nama yang tertera di atas nya tentu saja.

“A-pa i-tu?” tanyaku terbata. Isi di dalam otakku tiba-tiba seperti benang kusut.

“Yaelah... Ini anak masih kekeh mau akting depan kita. Kayak yang berbakat aja sih, lo!” ejek Anan kesal, seraya melemparkan remasan kertas ke dahiku.

“Iya, ih... Mbak Milka! Kabar bahagia itu harus dibagi, Mbak,” gerutu Nadine yang ikut gemas. Aku segera menyambar undangan itu, lalu bergegas menuju ruangan Elzan.

“Hey...” pekik Felly yang tak ku hiraukan sama sekali. Tidak, ini tidak boleh terjadi. Masalah kami tidak akan serumit ini kalau saja undangan ini belum tersebar. Semua orang di kantor tiba-tiba berbisik begitu aku melewati mereka. Beberapa diantaranya bahkan mengucapkan selamat secara terang-terangan. Aku justru ingin menangis menatap wajah-wajah tulus yang sepertinya ikut bahagia untukku itu.

The One That Got AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang