Part 19

1.3K 167 37
                                    

Part kemarin lebih banyak notif follow daripada vote comment 😂

Please vote commentnya yaa, biar kita sama-sama seneng. Aku bukan tipe author yang minta comment panjang kali lebar kok. Padahal aku dikasih comment, "semangat!" gitu aja udah seneng lho. Kalo jarinya takut kecapekan ya seenggaknya vote lah.... Masa bikin capek juga sih, pencet bintang doank (?) 😂😂😂

Gimana cover barunya? Eheheee

***

Sayangnya, menutup lembaran lama bukan selalu berarti siap untuk membuka lembaran baru. Membenci seseorang yang sudah menghancurkan hati kita, tidak sama dengan mengizinkan orang baru menata apa yang tersisa disana.

Elzan luar biasa baik. Dia tipe pria yang tidak memerlukan usaha keras, untuk membuat wanita bermimpi tentang masa depan bersamanya. Aku tahu itu.

Bohong jika aku bilang tidak mengerti arti sikapnya padaku. Aku bukan remaja umur belasan lagi. Yang akan malu-malu, pura-pura bodoh, berharap gebetannya akan terus terang soal perasaannya di depanku.

Tapi itulah cinta. Terkadang cinta bisa membuat seseorang tidak ingin sembuh, padahal tahu dia tengah terluka parah. Cinta bisa membuat seseorang sampai terlatih patah hati. Dan itu membuatnya belum ingin menerima seseorang yang mungkin pandai mengobati.

Kinerja cinta seringkali berjalan diluar logika. Seharusnya aku bisa dengan mudah menerima Elzan. Seharusnya bukan hal sulit untuk membuka hatiku untuknya.

"Terimakasih koko, sarung, dan pecinya." Elzan membuyarkan lamunanku. Dia sudah kembali memakai kemeja hitam polos yang pas di tubuhnya.

Selepas sholat isya berjamaah di masjid terdekat, dia memang agak mengeluh soal udara panas disana. Tentu saja. Dia lebih sering menghabiskan waktu di depan pekerjaannya dalam ruangan ber Ac, daripada meluangkan lima kali waktu sholat dalam barisan para jama'ah di masjid.

Tringg...

Aku segera membuka ponselku. Felly. Dia sudah menelepon kalau dia tidak jadi mampir ke rumah. Dan sekarang, dia mengirim pesan singkat. Kenapa?

"Ka, sepertinya aku bisa mampir sebentar. Tapi aku tidak bisa masuk rumahmu. Bisa bawakan saja dokumen yang akan kuambil? Please..."

"Apaaa?" Aku menjerit dalam hati.

Elzan tengah mencari kunci mobilnya yang terselip. Meski bersikeras ingin tetap tinggal lebih lama, tapi aku berhasil meyakinkannya untuk cepat pulang. Dan setelah berusaha keras mengusirnya, sekarang aku justru harus menahannya sedikit lebih lama. Tidak. Felly tidak boleh melihat Elzan ada dirumahku. Gosip tentang pernikahanku yang batal masih sering kudengar, dan aku tidak ingin membuat daftar lain untuk membuat kupingku memanas.

"Pak, Bapak nggak perlu terburu-buru. Bapak bisa menunggu Bunda sampai selesai sholat." Elzan mengerutkan dahinya, tidak yakin pada apa yang dia dengar. Sama. Aku juga tidak yakin pada apa yang kukatakan sekarang.

"Tadi kamu yang semangat mengusirku." Dia berkacak pinggang, menelengkan wajah mengamati ekspresiku. Kunci mobil yang sudah berhasil ditemukannya makin membuatku khawatir.

"Nggak, Pak. Lebih baik Bapak tunggu sebentar. Nanti Bunda kecewa kalau Bapak sudah pulang tanpa pamit." Tadi Elzan sudah pamit pulang sebelum Bunda pergi shalat. Tapi semoga, alasan ini bisa membuatnya tertahan sebentar disini.

"Yasudah, aku tunggu diluar."

"Jangan, Pak." Aku refleks berteriak. Lalu menuju pintu yang hampir saja dia buka. Jarak kami terlalu dekat sekarang.

"Ini mulai mencurigakan," katanya lirih. Aku semakin menggenggam erat daun pintu.

"Aku tidak keberatan untuk mendekat," katanya mengancamku, yang tidak gentar untuk melarangnya keluar.

The One That Got AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang