Part 22

1.2K 168 24
                                    

Aku update setelah liat vote udh 50.
Happy reading :)

***

Nadine baru saja selesai menjelaskan banyak hal, saat ponselnya tiba-tiba berdering. Tentang aku yang sudah sampai rumah dengan infus di tangan, dan juga suara Elzan yang tedengar mengobrol dengan Bunda di luar kamarku. Karena aku tidak ingat apapun.

Aku hanya ingat Anan yang tidak berhenti mengomel saat aku menolak tawaran untuk diantarkan pulang. Kupikir aku hanya demam biasa, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku hanya perlu memesan taksi online. Tapi ternyata kepalaku makin berdenyut, dan akhirnya kembali pingsan.

Seperti kata dokter, aku memang kurang istirahat, stres, dan banyak pikiran akhir-akhir ini. Pantas saja kalau denyut kepalaku benar-benar menyiksa. Ternyata ketika stres, hormon kortisol dan adrenalin menyebabkan peningkatan detak jantung dan pelebaran pembuluh darah, yang kemudian membawa darah ke tangan dan kaki. Akibatnya, otak tidak mendapatkan suplai darah yang berisi oksigen dengan cukup, dan mengakibatkan sakit kepala saat sedang stres.

Bagaimana tidak? Gagalnya pernikahanku masih menjadi topik terpanas untuk dijadikan bahan bergosip ibu-ibu tetangga rumahku dan orang-orang pesantren. Belum lagi sikap Reza dan ibunya yang seolah kompak mempermainkan hatiku. Ditambah urusan kantor yang membuatku merasa makin tertekan dari berbagai sisi. Membuat makanku menjadi tidak teratur, dan terlalu sering meminum kopi.

Aku tidak pernah berpikir akan melewati masa sesulit ini, tepat setelah aku merasa menjadi wanita paling beruntung saat itu. Sebagai muslimah yang baru berhijrah dan masih sulit mempertahankan keistiqomahan, mendapat lamaran menikah dari seorang Reza adalah sesuatu yang bahkan terlalu takut untuk kubayangkan. Dia lulusan terbaik universitas Madinah dengan full beasiswa, dan selebgram yang tengah naik daun di kalangan akhwat karena rutin mengisi kajian ba'da shubuh di salah satu stasiun TV swasta.

Jadi setelah pernikahan itu batal begitu saja, aku merasa hidupku perlahan menjadi berantakan. Aku nyaris menyerah untuk merangkak di jalan hijrahku, karena terlalu semangat berlari sebelumnya. Saat menerima lamaran Reza, aku berpikir Allah benar-benar membalas jerih payahku dalam beristiqomah. Tapi setelah semuanya gagal aku merasa sebaliknya.

Aku sudah melewatkan banyak kajian dalam beberapa pekan yang biasanya rajin kuhadiri. Aku lalai, dan sibuk menghindar dari Reza. Banyak hal yang dulu semangat kukerjakan, kutinggalkan begitu saja. Dan sekarang, aku menyadari bahwa aku mulai putus asa dari rahmat Allah. Seharusnya aku tahu ini ujian, dan solusi untuk melewatinya adalah dengan bersabar. Tapi yang terjadi aku justru menjauh dari-Nya, dan terlalu fokus pada sakit hatiku. Tidak peduli pada hikmah dibaliknya agar segera beranjak melangkah untuk mengobati apa yang pernah terluka.

***

Aku berusaha bangkit, meski denyut kepalaku belum sepenuhnya hilang. Tidak nyaman terus berbaring tanpa melakukan apapun. Aku bahkan melepas infus di tanganku.
"Eh... Kamu harus istirahat, jangan terlalu banyak bergerak. Ya ampun, infusnya dilepas lagi," omel Bunda, saat melihatku keluar kamar.

Ada Elzan disana. Menatapku sekilas, lalu kembali menyesap kopi di tangannya. Kalau keadaan kami tidak sedang canggung, pasti dia akan sama cerewetnya dengan Bunda. Apalagi Nadine menceritakan padaku, kalau Elzan benar-benar terlihat khawatir di kantor karena mendengarku pingsan lagi. Setelah menumpahkan amarah pada Anan yang dituduh teledor menjagaku, Elzan segera merebut kunci mobilnya dan mengantarku pulang bersama Nadine. Kasihan Anan, dia pasti akan mengutukku saat bertemu.

"Mbak, aku harus pulang nih. Ada acara mendadak di rumah." Nadine datang dengan langkah yang tergesa-gesa.

"Mau diantar, Nad?" tawar Elzan seraya meletakkan cangkir kopinya.

The One That Got AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang