Part 6

2.1K 203 18
                                    

Haiii... aku kembali, padahal belum tentu ada yang nungguin. Ini bener-bener fresh. Aku nggak sempet edit, karena kali ini aku cuma curi-curi waktu. Wkwk

Btw, pagi ini hari pertama kuliahku setelah liburan yang sangat panjang. Wish me luck yaah!❤❤❤

Dan seperti biasa, vote dan comment guys. Itu sangat menentukan moodku untuk mau dibawa kemana kelanjutan cerita ini. Semoga aku bukan termasuk golongan orang-orang PHP, sih. Dan penyakit malesku nggak kumat suatu waktu :'( Wkwkkk 😂😂😂

***

Aku berjalan tanpa melihat sekeliling. Kedua mataku fokus pada sepatu balet sederhana berwarna cream, dengan hak rata yang tak terlalu tinggi yang saat ini kukenakan. Aku hanya mendongak sesekali, untuk melempar senyuman sebagai balasan santriwati yang menyapaku ramah. Ini berlebihan. Untuk apa aku harus berjalan menunduk seperti ini? Kehidupan ini terlalu singkat untuk dihabiskan dengan memerhatikan sepatu butut yang kupakai.

Meski berjalan menunduk seperti ini, kenyataanya itu tak membuatku bisa menghindari Reza. Aku tidak bisa mencegah seseorang untuk melukaiku. Aku hanya bisa memilih untuk tetap membiarkannya menganga, atau mengobatinya. Jadi dengan sedikit keberanian, aku mendongakkan wajah.

Sejak pernikahanku gagal dan menjadi gosip terhangat, aku memang selalu menghindar untuk bergabung dengan sesama pengajar lainnya. Masuk kelas tepat waktu, lalu segera pulang saat urusanku benar-benar sudah selesai. Itu salah satu terapi yang kuusahakan agar lukaku yang belum sepenuhnya sembuh tak terkelupas lagi. Tapi setelah kupikir-pikir, aku tidak salah. Jadi mengasingkan diri seperti ini jelas bukan harga yang harus kubayar.

"Wah... tumben, Bu Milka," seru salah satu guru dengan jilbab putih bersihnya saat melihatku duduk ikut bergabung di jam istirahat. Aku hanya membalasnya dengan senyuman hambar. Ini memang bukan lagi kebiasaanku. Beberapa waktu belakangan, aku lebih sering menetap di kelas terakhir tempat aku mengajar sebelum istirahat. Menghabiskan waktu dengan naskah-naskah panjang yang kucicil untuk dibaca, daripada menikmati camilan ringan yang disediakan untuk para guru di kantor.

Aku mengajar di pesantren khusus anak putri, jadi sebagian besar gurunya perempuan. Dan tidak usah ditanya lagi apa yang sekumpulan perempuan lakukan saat santai bersama seperti itu. Apalagi masalahku adalah sasaran menggiurkan untuk dijadikan bahan obrolan. Jadi menghabiskan waktu istirahat dengan mengorbankan diri menjadi tumbal obrolan mereka bukanlah sesuatu yang menarik untukku.

"Milka!" Aku nyaris tersedak saat mendapat tepukan tiba-tiba di bahuku. Aku segera menyambar air mineral gelas kemasan didepanku, lalu membuang tangkai cabai yang tadi kumakan bersama gorengan yang belum berhasil kutelan dengan sempurna.

"Ya Allah... maaf, maaf, Ka,"seru gadis manis dengan raut wajah khawatir melihatku. Aku mengangkat tangan, memberi isyarat bahwa aku baik-baik saja.

"Ada apa sih, Sab? Sampai panik gitu kelihatannya," tanyaku masih terputus-putus, akibat rasa pedas cabai yang menyakiti tenggorokanku.

"Ini, Ka, aku butuh segera nilai mid semester anak-anak kelas IX. Ustadz Reza minta secepatnya," jawabnya panik kembali. Sebagai guru BP di pesantren ini, Sabrina sudah pasti panik saat mendapati nilai belum lengkap, sedangkan rapot sudah harus ditulis para wali kelas.

Aku memukul keningku seketika. Sepertinya pekerjaan yang menumpuk dari dua tempat membuatku gagal fokus. Aku juga baru saja membaca pesan singkat atasanku, kalau Pak Elzan sudah meminta naskahku yang selanjutnya. Aku benar-benar harus menemui Ustadz Rizal secepatnya, untuk melepasku dari pesantren ini. Selain jiwa dan ragaku, kedua pekerjaanku pun bisa terbengkalai kalau aku terus memaksakan diri seperti ini.

The One That Got AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang