Alhamdulillah... part ini kelar. Makasih yaaa, yang kemaren udah vote dan comment. Makasih bangeeett!!! Kalo part ini lebih banyak yang vote dan comment, in syaa Allah next part aku publish lebih cepet. Tapi kalo nggak, yaaa... mari kita liat bareng-bareng, seberapa tebel debu di lapak ini nanti. Wkwkwkwkkk!!! *jahaddd
Oh iyaa, sebaiknya dari sekarang kamu tentukan, kamu #teamreza atau #teamelzan? Hahaha... Heppi riding semuaa ❤
***
"Biasanya kamu butuh waktu berapa lama untuk menangis?"
Aku baru saja menyusut airmataku pelan, sebelum suara itu memecah lamunanku. Elzan sudah berdiri di dekatku, dengan tangan memegang ice cream vanilla persis seperti yang biasa kubeli untuk menghibur diri saat jam istirahat kantor. Agak lama dia ikut menatap anak-anak kecil yang berlarian di depan sana, sebelum akhirnya menyodorkan ice cream yang dia bawa. Aku mendongak ke atas. Laki-laki jangkung ini tetap melihat ke depan, tanpa menghiraukan tatapan heranku padanya. Sepertinya segerombolan anak kecil yang sedang berusaha menerbangkan layangan warna-warni dengan berbagai macam bentuk didepan sana lebih menarik untuknya.
"Jangan bilang kamu nggak suka ice cream ini. Kamu terlalu sering membelinya, sampai orang-orang di sekelilingmu mungkin hafal diluar kepala. Jadi, cepat ambil!" perintahnya yang seharusnya terdengar menyebalkan, tapi justru kali ini terdengar lucu di telingaku. Akhirnya dia bereaksi, mungkin karena tadinya aku tak segera mengambil ice cream yang dia tawarkan. Aku terkekeh geli, seraya mengambil ice cream dari tangannya dengan hati-hati.
"Terimakasih. Bapak belum pulang?" tanyaku basa-basi.
"Kalau kamu masih butuh banyak waktu, saya nggak bisa menunggu lebih lama. Ada rapat satu jam lagi."
"Bapak menunggu saya?" tanyaku heran menunggu jawabannya. Tadi aku mengira dia baru saja selesai menemui penulis naskah yang kupilih. Tapi aku baru ingat kalau dokumen-dokumen penting kami baru saja kubawa kabur untuk menangisi pria bodoh yang sudah berulang kali menyakitiku. Harusnya hatiku sudah kebal, tapi kenyataannya imunnya tak sekuat bagian tubuhku yang lain.
"Kamu masih bertanya? Wajah orang tampan memang biasanya nggak terlalu terlihat bosan meski sudah lama menunggu."
"Apa?" tanyaku bodoh mendengar kalimatnya yang super percaya diri.
"Ayo pulang," ajaknya. Dia tidak mengulangi kalimat sebelumnya, meski aku pura-pura belum paham.
"Bapak duluan saja," jawabku kikuk. Aku tidak ingin mengakhiri hari burukku, dengan keadaan canggung yang sudah pasti akan menyiksaku sepanjang perjalanan jika aku kembali ke kantor bersama pria ini.
"Ya ampun, kamu masih butuh banyak waktu untuk menangisi laki-laki seperti itu?"
"Hah?" Dia salah paham. Setelah mata bengkak dan hidung yang sudah pasti memerah, aku tidak ingin memperjelek lagi bentuk wajahku hari ini. Sudah cukup laki-laki kejam itu menguras airmataku. Aku hanya tidak mungkin kembali ke kantor dengan pria ini. Mendengar teman-teman kerjaku asyik membicarakanku karena kembali bersama bos dalam keadaan riasan wajah yang tidak sewajarnya, tidak pernah masuk dalam daftar sesuatu yang ingin kulakukan.
"Boleh saya duduk?" tanyanya. Aku menatapnya heran. Rapat satu jam lagi. Lalu lintas di Jakarta tidak akan membuatnya bisa menjamin untuk sampai tepat waktu. Seharusnya sore begini adalah jam pulang kantor bagi sebagian orang, dan aku sudah membayangkan jalanan sedang dipenuhi kendaraan yang mengular. Aku kembali menatapnya, lalu beralih menatap sisa bangku taman yang kududuki. Ini terlalu sempit untuk kami duduki berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
The One That Got Away
EspiritualSebaik apapun mereka, aku hanya bisa memilih satu, atau menyakiti keduanya. Karena aku tidak bisa menjadikan dua matahari sekaligus dalam satu langit. Hanya akan ada satu yang bersinar, membagi banyak cercah hangat cahayanya untukku. Tapi bagaimana...