Part 13

1.6K 211 29
                                    

Mumpung besok long weekend, jadi mau nyampah dulu di wattpad. Haha. Please vote sama commentnya. Yg nge read lumayan loh. Nggak susah kaaaaan? Apa sih susahnya, tinggal klik bintangnya aja, kan?😌
Ngetik komen juga nggak mikir keras kayak ngetik cerita ini, kan? 😭
Jadi please lah... Dijamin tangannya nggak akan pegel, kram, dan semacamnya 😅

***
Dalam hidup, ada seseorang yang pandai membuat kita merasa bodoh dalam hal-hal yang seharusnya sederhana. Tentang menerjemahkan perasaan kita sendiri. Tentang membedakan hal yang sudah jelas berbeda, antara sakit dan jatuh hati. Tapi keduanya seolah sama, saat kamu bertemu sebagian orang yang pandai memainkan perasaanmu. Seperti laki-laki yang kini tiba-tiba menghadang jalanku dan Sabrina.
Sudah kubilang, pertemuan kami akan selalu mengguncang perasaanku. Bayangkan betapa sulitnya, saat kamu merasa jatuh sekaligus sakit hati pada orang yang sama. Lukaku belum sepenuhnya sembuh, tapi ada perasaan khawatir yang tak bisa kuabaikan begitu saja. Tentang percakapan panjangnya dengan Elzan yang tak terlihat berakhir dengan cara menyenangkan.
Perasaan serba bertentangan itu membuatku tidak bisa berbuat banyak. Yang bisa kulakukan hanya berdiri bodoh meski aku bisa menghindar. Sabrina terlihat salah tingkah disampingku.

"Aku duluan, ya," bisiknya pelan. Aku tidak menjawab, tapi aku makin menggenggam tangannya erat. Isyarat kalau aku tidak ingin ditinggal berdua saja dengan laki-laki di depanku.

"Aku nggak mau jadi obat nyamuk," jawabnya masih berbisik. Dia berusaha keras melepas tangannya dari genggamanku.

"Tetap disini saja Usth, agar saya tidak terlihat seperti laki-laki yang tidak keberatan untuk berduaan saja dengan seorang wanita. Nggak baik kan, laki-laki dan wanita hanya berduaan saja?" Aku tahu itu kalimat sindiran buatku. Nada sindirannya terlalu kental untuk disamarkan dengan kalimat tanya yang dilontarkannya. Sindiran tentang aku yang hanya pergi berdua dengan Elzan waktu itu. Aku tahu dia ingin mengupas kesalahanku tentang itu. Ya, tak apa. Lagi pula ini akan menjadi terakhir kalinya aku bisa melihat wajahnya. Wajah yang masih sering terekam jelas dalam bayangku, meski berkali-kali mengucap istighfar dengan dada sesak.

"i... Iyaa, Ustadz," jawab Sabrina gugup. Ya ampun, dia terdengar salah tingkah sekarang. Aku sampai lupa kalau Reza adalah salah satu ustadz favoritnya. Favorit Sabrina dan sebagian besar ustadzah lain dan santriwati maksudku. Reza memang semacam idola yang tengah digandrungi di pesantren. Pemuda inspiratif lulusan salah satu universitas di Madinah yang mendapatkan IP tertinggi dari fakultas qur'an. Fakultas paling sulit disana menurut Sabrina.

Aku tidak tahu persis bagaimana awalnya, sampai laki-laki ini bisa menjadi setenar sekarang. Dia bahkan menjadi pengisi ceramah tetap di salah satu stasiun televisi swasta setiap ba'da shubuh. Kepopulerannya memang tidak bisa dibandingkan dengan sederet aktor muda yang menghias layar kaca sinetron, tapi untuk kalangan akhwat sepertiku, aku yakin penggemarnya tidak sedikit. Tidak jarang komentar yang menurutku menggelikan, ada di setiap postingan kajian yang diunggahnya di instagram.

"Boleh sebutkan dalilnya? Siapa tahu Usth Milka mungkin lupa," kata Reza dengan nada setengah mengejek yang ditekankan. Aku menghela napas panjang. Sekarang dia terlihat kekanak-kanakan.

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
لا يخلون أحدكم بامرأة فإن الشيطان ثالثهما

Janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan seorang wanita karena sesungguhnya syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua." (HR. Ahmad 1/18, Ibnu Hibban [lihat Shahih Ibnu Hibban 1/436], At-Thabrani dalam Al-Mu'jam Al-Awshoth 2/184, dan Al-Baihaqi dalam sunannya 7/91. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah 1/792 no. 430)"

Sabrina memandangku takjub seketika. Ekspresi kagetnya begitu terlihat, setelah aku menggantikannya menjawab pertanyaan Reza. Aku tahu dia tidak menyangka kalau hadits itu sangat kuhapal diluar kepala. Lengkap dengan nama perowi dan buku sekaligus halaman dan jilidnya. Padahal Sabrina sering mengeluh saat menyimak tugas hafalan ta'lim rutinku yang berantakan. Nyaris didikte seluruhnya, karena aku seringkali tidak bisa meluangkan waktu untuk menghapalnya.

The One That Got AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang