THE END

1.1K 134 63
                                    

Makasih banget buat kalian yang bisa saling menghargai dengan ninggalin vote, comment, dan follow sepanjang cerita ini upload. I love u guys. So much

***
"Wah, kemampuanku pasti melaju pesat. Dress itu cocok untukmu," seru Wilona saat menghampiriku. Aku memang mampir ke butiknya, mengenakan dress ruffle sederhana bermotif floral kecil-kecil yang Wilona berikan untukku. Desain terbaru yang dikeluarkannya.

"Terimakasih," sahutku seraya mengikuti Wilona ke ruangannya.

"Tapi wajah sembabmu mengganggu penampilan," ejeknya. Aku meringis. Kupikir make up yang lumayan tebal dari biasanya bisa menyamarkannya. Ini sudah hari ketiga dari kejadian malam itu, tetapi tangisku seolah punya banyak episode kejar tayang.

"Kamu mau?" tawarnya, setelah mengeluarkan sekaleng minuman bersoda dari lemari pendingin mini di pojok ruangan. Percikan cairan keluar dari lubang berdiameter lima cm itu.

"Aku puasa, InsyaaAllah," sahutku. Wilona mengangguk mengerti.

"Kamu hanya mampir, atau sengaja datang kesini dari rumah?"

"Keduanya. Tadi aku ikut kajian dulu, tapi memang dari rumah udah berniat mampir kesini," jawabku.

Sebenarnya niatku mampir ke butik Wilona dulu, baru ikut kajian. Tapi ternyata sesi terapi Bunda berlangsung lebih lama dari biasanya. Ya, keadaan mental beliau memang kembali melemah.

Jadi daripada tidak ikut kajian, lebih baik jadwalnya kutukar. Dan aku merasa beruntung mengambil keputusan itu, meski tahu akan terlambat ikut kajian hampir seperempat jam. Setidaknya, hatiku lumayan lebih tenang. Aku percaya bahwa duduk bersama orang-orang sholeh itu penting. Sangat. Ada aura positif yang kudapatkan.

Mata Wilona menyipit seolah mencari tahu. "Ada masalah mendesak?" tanyanya khawatir. "whats wrong?"

Aku menarik napas dalam, menyiapkan diri. "Kamu bertengkar dengan Anthony?" tanyaku hati-hati.

Wilona membelalak, tetapi dengan cepat menguasai wajahnya lagi. Mungkin terkejut karena aku ternyata mengetahuinya.

"Yah, begitulah." Wilona menyesap minuman bersodanya. Seolah mengalihkan perhatianku. "Pertengkaran biasa. Nanti juga baikan," ujarnya enteng.

"Pertengkaran biasa mana yang sampai harus putus?" tanyaku berang. Aku mendengarnya sendiri malam itu. Anthony menyalahkan aku yang menyakiti adiknya, sedangkan Wilona membelaku yang bodoh ini. Aku baru ingat tadi pagi, karena beberapa hari ini aku sibuk merawat Bunda. Dan terlalu fokus pada lukaku sendiri. Egois memang.

Wilona justru terkekeh. "Kamu kan yang paling khusyu mendoakan aku dan Anthony putus. Mungkin ini jawabannya," katanya masih saja bercanda.

"Heyyy! Aku memang ingin kalian putus, tapi untuk menikah. Pacaran kan nggak baik," sahutku membela diri. "Jangan bertengkar gara-gara aku."

"Perbaiki dulu hubunganmu, baru aku terima ceramahnya," ujarnya seraya mengerlingkan mata menggodaku. Kenapa dia bisa sesantai ini, sih? Aku yakin dia juga pasti menangis lama, tapi bersembunyi di belakangku. Pantas saja dia bersikeras kembali ke apartemennya setelah beberapa hari menginap di rumahku. Aku tahu persis drama Wilona setelah patah hati. Tidak pernah ada yang plot nya seringan ini.

"Aku serius," ujarku sungguh-sungguh. Aku tidak mungkin tenang kalau kebodohanku sampai berdampak pada hubungan sahabatku.

Wilona memindahkan badannya lebih maju. Condong ke arahku. Raut wajahnya juga berubah serius seketika. "Mau kuberi tahu rahasiaku?" tanyanya. Aku hanya mengangkat sebelas alisku. Menatapnya was-was.

The One That Got AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang