Part 15

1.5K 180 26
                                    

Aku balik lagiiii. Jangan bully aku karena lama nggak update, sampe pada lupa alur ceritanya. Aku aja penulisnya harus baca ulang, biar dapet feelnya😂😂😂

Tapi aku memang gak bisa membagi dua pikiranku. Apalagi antara ujian dan menulis. Kampusku (menyeramkan) untuk diduakan, if you know why.

Btw, makasih yang udah sabar menunggu, dan rajin kasih aku semangat lewat vote dan comment. Lup yuuu...💙💙💙

***

Seperti halnya kisah patah hati kebanyakan, aku memang mengalami masa pemulihan yang tidak bisa dibilang sebentar. Meski tidak mudah untuk terus melihat Reza, tapi keputusanku untuk tetap mengajar di pesantren tidak kuubah. Menyakitkan memang. Tapi aku percaya, bahwa setiap yang patah perlu proses untuk kembali utuh. Keutuhannya mungkin tak sesempurna apa yang pernah kita miliki, tapi bisa jadi dari sisi yang patah itulah kebahagiaan akan tumbuh.

Terlalu na’if kalau sampai aku mengaku baik-baik saja, tapi bukan berarti perasaanku semenyedihkan puisi pujangga tentang mereka yang patah hati. Kisahku tidak setragis drama Romeo-Juliet. Aku masih punya Allah. Dzat pemilik takdir dalam hidup. Yang lebih tahu apa yang terbaik untuk ku, dari diriku sendiri.

Ya, aku masih senyaman itu menikmati hidup. Patah hati tidak lantas membuatku mengurung diri di kamar, atau menguras tabunganku untuk menghilangkan stres dengan berbelanja. Seperti yang saat ini Wilona lakukan, setelah bertengkar dengan pacarnya semalam. Dia terlihat bersemangat menyambar berbagai jenis barang tanpa harus khawatir soal harga.

Beruntungnya, aku bukan tipe wanita patah hati yang menjadikan belanja sebagai pelampiasan. Karena nominal dalam ATM ku dan Wilona jelas berbanding terbalik.

Semalam aku berniat menceritakan banyak hal setelah berhasil menyembunyikannya dari Wilona. Tapi kubatalkan. Aku tidak mungkin berbagi sedih, saat Wilona datang dengan wajah geram. Ada Anthony dibelakangnya. Membuatku mengerutkan dahi heran. Aku bahkan belum sempat mempersilahkan masuk, saat Wilona menutup kasar pintu rumahku tiba-tiba. Tepat di depan wajah pacarnya. Mengerikan.

Setelah menangis tanpa bercerita apa-apa, akhirnya disinilah wajah memerahnya mulai cerah kembali. Diantara tumpukan belanjaannya yang memenuhi kamarku.

“Kamu nggak merasa, kalau ini terlalu berlebihan?” tanyaku dengan nada kurang suka. Tentu saja. Apa yang dilakukan Wilona ini keterlaluan. Lihatlah berapa banyak tas, sepatu, dan segala macam jenis make up yang berhasil ditelantarkannya diatas kasurku. Ini mubadzir.

You know, konon, belanja adalah obat sedih bagi seorang wanita. Kamu harus mencobanya sesekali,” jawabnya tak peduli, dengan pandangan yang tetap fokus ke layar laptop. Menikmati drama korea sebagai pelampiasan selanjutnya. Mungkin inilah mengapa dia selalu membandingkan sikap pacarnya, dengan pemeran utama drama korea yang digilainya. Sayangnya, dia lupa. Hidup tak sesederhana dan sesingkat naskah sebuah drama. Karena ada banyak sisi kehidupan, yang tidak bisa disampaikan sepenuhnya lewat layar kaca. Sedalam takdir Allah menggariskannya.

“Dan sekarang kamu merasa sudah terobati? Berbelanja membuat hubunganmu membaik lagi? Come on, Will,” desahku. Aku benar-benar menatapnya prihatin.

“Iiih... kamu hoby banget merusak moodku. Ya setidaknya belanja itu menghibur. Lihat, seenggaknya aku sudah tidak menangis uring-uringan seperti semalam.”

“Kamu merasa terhibur? Lalu akan kamu apakan barang-barang ini?” tanyaku gemas. Dia hanya mengedikkan bahunya tak peduli.

“Ini tabdzir namanya, Wil. Orang diluar sana itu susah mendapatkannya.”

The One That Got AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang