Haiii, ada yang nunggu cerita yang makin freak ini? Hehe 😅
Vote dan comment ya temen-temeeen. Ini udah nyuri waktu banget, sih :( Maaf kalo terlalu pendek. In syaa Allah bakalan aku lanjut secepatnya kalau vote dan comment udah sampe 30?Kalau belum, wallaaahua'lam. 😂😂
Lampu lalu lintas baru saja berubah hijau, saat busway yang kutumpangi kembali melaju diantara kemacetan Jakarta dan hiruk pikuknya. Setelah menjawab panggilan Pak Elzan yang membuat sepanjang perjalananku makin panik, aku menekuri pesan singkat yang kukirim pada Wilona tanpa balasan. Sepertinya dia benar-benar murka. Ingin menyempatkan waktu ke rumahnya untuk meminta maaf secara langsung, tapi pekerjaanku benar-benar menumpuk sekarang ini.
Di hari minggu kemarin saja, aku baru bisa merebahkan tubuhku sejenak diatas kasur saat sayup-sayup adzan maghrib sudah terdengar. Selepas sholat, naskah-naskah yang harus kuseleksi sudah melambai horor di sudut meja kamarku. Dan terbukti, apa yang tidak dari hati itu hampir tak akan berakhir bagus. Contohnya pemaksaan pada mataku yang semalam sudah beberapa kali terpejam tanpa sadar. Pemaksaan pada lambungku yang harus menerima kafein berlebihan padahal belum terisi makanan dari siang. Yang akhirnya justru membuat pagiku berantakan. Bangun terlambat, dengan perut yang terasa luar biasa perih.
"Enam menit, dua puluh delapan detik." Sambutan yang sama sekali tak menyenangkan. Apalagi dengan moodku yang suram, tak secerah wajah Pak Elzan yang kali ini menyeringai puas melihatku terlambat. Ya, aku tahu dia sudah bersiap menghukumku.
"Maaf, Pak," sahutku sesopan mungkin.
"Kamu bangun jam berapa, sampai nggak sempat mandi?"
"Apa?" Aku tercengang mendengar pertanyaannya yang lebih mirip ejekan itu. Aku nyaris memaki laki-laki yang kini tengah memerhatikan penampilanku dengan pandangan menyebalkan.
Ya, aku tahu penampilanku tidak akan terdengar aneh jika dibilang buruk. Dengan gamis bermotif bunga-bunga yang kulapisi cardigan hitam kusut yang belum sempat disetrika, jilbab lebar yang kupakai sepolos mungkin tanpa sentuhan manis bros yang biasanya kusematkan dibahu kiri. Aku juga tidak yakin sudah memasang jarum pada jilbab segiempat ini secara benar. Ditambah wajahku yang tanpa riasan, hanya bedak tipis yang sempat kupoles secara kilat. Dan pastinya sudah luntur, tertimpa keringat saat berdesakkan di busway tadi. Sempurna buruknya. Tapi nggak semirip orang yang belum mandi, kan? Itu keterlaluan.
"Butuh kopi?" Pertanyaan seperti itu sama sekali tidak termasuk dalam prediksiku akan keluar dari mulut berbisa si Elzan menyebalkan ini. Pasti kantung mataku makin menghitam, sampai orang sepertinya mau repot-repot menawarkan hal seperti itu.
"Tidak, terimakasih," jawabku singkat. Sebenarnya aku tidak ingin meladeni lambungku yang sedang manja, tapi menambah perih yang sejak tadi kutahan bukanlah sesuatu yang ingin kulakukan. Aku butuh makanan daripada kopi sekarang. Meski aku tidak yakin daya tahan mata yang kupaksa terjaga semalaman, akan bertahan sampai jam kerja berakhir. Terserah. Perih lambungku terus membuatku meringis nyeri sesekali.
"Kalau begitu, kamu harus segera makan. Saya nyaris tidak pernah melihat mejamu kosong dari secangkir kopi pahit, jadi sekalian saya pesankan tadi. Ya sudah, biar saya saja yang minum,"ujarnya panjang lebar. Banyak mata terarah padaku sekarang. Terang-terangan menatapku curiga.
Aku tercengang bodoh. Membiarkannya berlalu dengan secangkir kopi yang tadi mengepul diatas mejaku, tanpa mampu berucap apa-apa. Ucapan terimakasih sekalipun. Otakku sedang bekerja keras mengamati keajaiban yang baru terjadi. Sudah ada satu kotak bubur ayam dengan aroma menggoda di meja kubikel kecilku. Itu tadi sungguh Pak Elzan, atau mekanisme mata lelahku yang belum bekerja secara sempurna?
KAMU SEDANG MEMBACA
The One That Got Away
SpiritualSebaik apapun mereka, aku hanya bisa memilih satu, atau menyakiti keduanya. Karena aku tidak bisa menjadikan dua matahari sekaligus dalam satu langit. Hanya akan ada satu yang bersinar, membagi banyak cercah hangat cahayanya untukku. Tapi bagaimana...