Part 30

1.1K 143 23
                                    

Sorry karna lama banged publish next chapter. Seriously ujianku beruntun.

Jadi please vote dan comment untuk kelanjutan cerita ini 🙏🙏🙏

Jangan lupa follow authornya yaa, hehe...

***

Aku memandangi layar ponselku cukup lama. Menunggu tanda centang pesan singkatku pada Sabrina berubah biru. Dia sepertinya benar-benar marah. Aku tahu dia sibuk. Sebagai junior yang sedang dalam tugas wiyata bakti, aku memang sering melihatnya mengangguk pasrah saat disuruh ini dan itu. Tapi dia tidak pernah mengabaikan pesanku sampai lebih dari 24 jam begini. Kami berjanji akan bertemu diluar pesantren waktu itu. Tapi dia benar-benar seperti hilang ditelan bumi.

Kenapa jadi dia yang ngambek? Harusnya kan aku, kalau dia benar-benar menikah dengan Reza. Yah, walaupun perasaanku sepertinya tidak akan terluka parah, tapi tetap saja rasanya akan aneh kalau mereka berdua jadi menikah. Sudah siap melepaskan Reza, bukan berarti siap melihatnya bahagia bersama sahabatku sendiri yang dulu gencar menjodohkan kami. Melepas dan mengikhlaskan itu berbeda.

Lagipula apa yang salah? Aku hanya berbuat apa yang semestinya kuperbuat. Aku hanya menghargai takdir, kalau semua bisa berubah dan berbalik begitu saja. Maksudku, bohong kalau Reza bukan cowok idaman untuk ukuran muslimah seperti Sabrina. Jadi aku hanya tidak ingin dia menolak perjodohan itu, hanya karena memikirkan perasaanku. Aku tahu benar kalau jodoh itu di tangan Allah. Bukan kuasa kita. Itulah mengapa pacaran selama apapun tidak akan bisa membuat orang itu pasti akan menjadi jodoh kita. Who knows?

"Wil..." panggilku ragu. Aku segera menutup laptop. Sibuk bertanya-tanya soal Sabrina dalam hati membuat konsentrasiku buyar.

"Hmm... " Wilona menyahut tanpa melihatku. Gadis itu tengah asyik menutup wajahnya dengan masker berwarna hitam. Kopi organik bercampur buah plum itu hampir rata menutup wajah cantiknya. Dia berusaha terlalu keras mempercantik diri, untuk menyambut Anthony dan mengakhiri masa LDR mereka yang katanya berat.

"Kalau misalkan nih yaa... Misal lho... Misal... "

"Ihhh... Apaan sih, Ka?" potongnya gemas. Gerakan tangannya bahkan terhenti. Dia menatapku sebal. "Kepanjangan intronya. Misalkan apa?"

"Ini misal lho... Kamu nggak usah naik darah yaa... " peringatku hati-hati.

"Ckk... " Dia berdecak gemas. Lalu berbaring dan menutup kedua matanya dengan potongan timun. Seolah apa yang akan kukatakan bukan hal yang perlu didengar.

"Oke... Kalau misalkan pada akhirnya aku yang nikah sama Anthony, kamu gimana?"

"What? Kamu gila yaaa?! " Wilona langsung bangkit dari berbaringnya. Tidak peduli pada potongan timunnya yang menggelinding sampai kakiku. Wajah terkejutnya semakin terlihat mengerikan karena masker hitam itu.

"I already said this is just an example, right?"

"Are you crazy?" teriaknya. Aku segera meletakkan telunjukku di depan bibir. Ini memang belum terlalu malam, tapi aku yakin Bunda sudah tertidur.

"Ihh... Santai donk nadanya! Bunda bisa kebangun ntar... "

"Ya habisnya pertanyaan kamu tuh ngeselin banget, don't you know?" tanyanya sebal. Dia segera beranjak dari tempat tidur dan menghampiriku.

"Ya, I know that. Makanya aku udah mewanti-wanti tadi." Aku segera mengambil kertas-kertas yang kuletakkan diatas kursi di sebelahku, saat Wilona ingin mendudukinya. "Tapi Wil, jodoh itu kan di tangan Allah. Mau berapapun lamanya kamu pacaran sama Anthony, kalau aku jodohnya kamu bisa apa?"

"Wait... Maksud kamu apa, sih, tanya ini? Jangan bilang kamu ada rasa yaa, sama Anthony?" selidiknya dengan mata menyipit.

"What?" Sergahku heran. Anthony memang tampan. Laki-laki berkebangsaan Indonesia berdarah Tionghoa itu juga baik. Tapi tetap saja, aku tidak pernah memikirkan untuk jatuh cinta pada pacar sahabatku sendiri yang sama-sama punya wajah oriental. Ini bukan hanya karena rasa 'setia kawan', tapi ya memang karena aku juga tidak pernah merasakan apa-apa.

"Sekarang kamu jujur sama aku. Jadi selama ini kamu diam-diam suka sama pacarku?" tanya Wilona sok serius.

The One That Got AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang