Huwaaaaa... Nggak nyangka ngetik sampe selarut ini. Pas kelar, kaget banget liat jam udah 03:08. Ya Allah, udah pagi gaiiis, mau bantuin emak masak besar buat pagi ini. Mungkin karena suara takbir sana sini, malam ini jadi nggak kerasa sepi.
Akhirnya, Alhamdulillah kelar THR ku buat kalian. Selamat hari raya idul fitri yaaa, wan kawaan...
تقبل الله منا و منكم 💙
Yang bisa berkumpul bareng keluarga, syukuri dengan sebaik mungkin moment ini, yang belum bisa berkumpul, semoga Allah kasih yang lebih baik buat kesabaranmu *peluk onlen 🤗❤
Sekarang, gantian kalian yang kasih aku THR yaaaak pake vote, comment, dan follow. Rekomendasiin juga cerita ini ke temen2 kalian. Ke gebetan juga boleh, sih, klo punya 😜😌 Nggak susah kok, nggak akan bikin kalian begadang selarut ini 😹
Hepi riding gais, semoga part ini bisa nemenin kalian di hari raya idul fitri #dirumahaja ini ❤
***
"Wah... Kejutan." Elzan tertawa hambar. "Jadi kamu mau kupanggil apa? Bang Reza, Kak Reza, atau apa?" cerocos Elzan terdengar santai. Padahal aku tau dia berusaha keras menutupi keterkejutannya dengan meneguk separuh minumannya. "Oh iya, berarti aku nggak perlu membayar privat belajar, kan? Wah... Aku untung besar."
Reza tak menanggapi. Dia seolah sibuk dengan dunianya. Raut wajahnya jelas sekali mengatakan ini sulit dipercaya. Begitu pula Wilona. Dia sampai memegang lenganku agar aku menatapnya. Berusaha mencari kebenaran untuk rasa penasarannya yang terlihat jelas.
Tiba-tiba, Elzan menatapku. "Tapi, by the way, kalau memang Reza kakakku, lalu kenapa? Apa hubungannya dengan rencana pernikahan kita?" tanyanya pura-pura bodoh.
Aku menghela napas, berusaha santai. "El, kamu tahu jawabannya. Sama seperti kenapa aku nggak bisa menikah dengan Reza. Sama seperti kenapa pernikahanku dulu batal."
"Kenapa harus sama? Kalaupun kami memang saudara, bukan berarti kami harus bersikap sama. Aku nggak keberatan siapapun kamu, selama kamu wanita baik. Itu udah cukup." Elzan bersandar ke kursinya dan memandangku lekat. "try to tell me another reason, pasti nggak ada yang masuk akal buatku," katanya terlihat tak acuh seraya kembali meminum cappuccinonya hingga tak bersisa.
Aku menarik napas lagi. Lebih dalam. Berbeda dengan Elzan, aku justru kehilangan minat untuk meminum minumanku. "Usth Sonia nggak akan setuju. Dan kamu nggak bisa menikah tanpa izin beliau."
Elzan mengangkat satu alisnya. "Kenapa?"
Ini mulai menyebalkan. Percakapan kami akan menjadi bulat tanpa ujung, kalau Elzan tidak berniat serius seperti ini. Ayolah, aku yakin dia tahu alasannya.
Aku ikut menyandarkan tubuhku pada kursi. Tidak terlalu nyaman, tapi kuharap ini membantu menghilangkan kalutku. "Aku anak dari orang yang merusak rumah tangga beliau dulu, dan memisahkannya dari anaknya. Jadi menurut kamu, apa alasan beliau mau menerimaku?"
"Ka," sela Reza yang terlihat kurang nyaman dengan kata-kataku, meskipun dengan nada lembut yang aku tahu dia usahakan semaksimal mungkin. Mungkin karena aku membahas Ibunya. Dia masih seperti Reza yang kukenal terakhir kali. Orang yang sangat menyayangi Ibunya. Aku pernah dia korbankan demi rasa sayangnya itu, jadi tidak terlalu kaget dengan ini.
"Bukan itu," sahut Elzan memutus pandanganku dan Reza. Wajahnya masam sekarang. Tidak terlihat sesantai tadi. Aku menaikkan satu alisku, menuntut lanjutan kalimatnya. "Tapi kenapa aku nggak bisa menikah tanpa izin beliau?" lanjutnya makin membuatku gemas.
"Tentu saja karena dia Ibumu." Seharusnya aku tidak perlu menjelaskan bagian ini. Sudah jelas, sejelas cahaya mentari di tengah hari yang kini membuatku lumayan silau dari balik jendela kaca besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
The One That Got Away
SpiritualSebaik apapun mereka, aku hanya bisa memilih satu, atau menyakiti keduanya. Karena aku tidak bisa menjadikan dua matahari sekaligus dalam satu langit. Hanya akan ada satu yang bersinar, membagi banyak cercah hangat cahayanya untukku. Tapi bagaimana...