Haiiii... aku nggak tau dapet ilham darimana, sampe rajin update begini.wkwk
Di genre yg sebelumnya aku geluti di firs account, aku tipe author yang males lanjut cerita kalo goal vote ku belum terpenuhi. Dan jelas di cerita ini, vote dan commentnya belum ada apa-apanya. But seriously, aku seneng banget ada yang meluangkan waktu buat ngasih semangat lewat vote dan commentnya. Percaya deh, yang tadinya males-malesan, bisa langsung semangat setelah dapet vote dan comment manis yang kalian tulis😅 Thank you soooo much buat kalian❤❤❤❤❤
Tapi fyi, aku bisa lumayan lancar update gini karna kuliahku masih libur. Tapi senin besok aku udah masuuuk😭
Jadi jangan heran kalo nanti lumayan ngaret. Aku emang bukan mahasiswa semester akhir gitu sih, tapi aku kuliah pake beasiswa. Kampusku agak berbeda, karna sistem gugur gitu guys. Jadi aku nggak bisa santai. Kalo nggak percaya, googling aja tentang Kampus LIPIA. Wkwk *promosi😂Tapi aku bakal bela-belain update secepatnya, kalau vote dan commentnya bisa jadi moodbooster. Lup yuuu...oll :*
***
"Assalamu'alaikum, Fell?" Aku meletakkan ponsel diatas setumpuk naskah disampingku, setelah menyalakannya dengan mode loudspeaker. Tanganku kembali bergerak lincah memeriksa naskah.
Sudah hampir sebulan aku bekerja sebagai editor akuisasi di salah satu kantor penerbit buku mayor. Editor yang bertugas untuk menemukan penulis sekaligus naskah-naskah potensial untuk diterbitkan. Kebetulan penerbit buku ini sedang mencoba untuk menerbitkan buku novel bergenre spiritual. Dan aku ditunjuk untuk fokus mencari naskah itu.
Aku nekat melamar pekerjaan, meski pesantren belum mau melepasku. Ustadz Rizal selalu bilang belum mendapatkan ganti yang pas. Membuatku terpaksa menghabiskan banyak waktu untuk bekerja di dua tempat sekaligus, meski pesantren banyak mengalah dan menyesuaikan jadwalku di kantor. Akhirnya aku harus mengambil jadwal mengajar full di hari Sabtu dan Minggu. Karena kebetulan hari libur di pesantren adalah hari Jum'at.
Itulah mengapa aku nyaris tidak pernah pergi berlibur atau bersenang-senang. Akibatnya berat badanku turun drastis, kantong mataku melebar, dan Wilona semakin rajin mengejekku 'kurang piknik'.
Setelah kajian waktu itu yang berhasil membuat hatiku kembali galau, aku memang sepertinya butuh piknik sesekali. Impian tentang masa depan bersama Reza yang terlanjur tinggi itu memang benar-benar menyiksa jika tidak segera diruntuhkan.
"Wa'alaikumussalam, Ka," sahut Felly, tetangga kubikelku di kantor. Kami cukup akrab untuk dua orang teman yang baru kenal.
"Sibuk ya, Fell?"tanyaku basa-basi, setelah mendengar suara-suara kertas yang dibolak-balik. Sepertinya Felly juga sedang lembur mengedit banyak naskah. Sebagai alumni terbaik sastra Bahasa Indonesia di kampusnya dulu, Felly memang cocok untuk menjadi Copy Editor. Yang pekerjaannya tidak lepas dari memperbaiki dan menyelaraskan bahasa pada naskah.
"Lumayan. Ada apa?"
"Ma'af mengganggumu. Aku butuh catatan kriteria yang diinginkan Pak Elzan di rapat kemarin. Catatanku hilang, kamu ada, kan?" Aku harus dengan teliti memilih naskah yang sesuai dengan kriteria bos besar di kantor yang terkenal perfeksionis itu, kalau tidak mau punya riwayat sakit hati seperti rekan kerjaku yang sudah lebih lama disana.
"Oke, sebentar, Ka."
"Fellyyyyy..." terdengar teriakan dari sebrang telepon. Tak lama sahutan melengking Felly akhirnya menjawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
The One That Got Away
SpiritualSebaik apapun mereka, aku hanya bisa memilih satu, atau menyakiti keduanya. Karena aku tidak bisa menjadikan dua matahari sekaligus dalam satu langit. Hanya akan ada satu yang bersinar, membagi banyak cercah hangat cahayanya untukku. Tapi bagaimana...