Baca Al kahfi dulu sebelum baca ini gais ❤
Nggak susah kok bikin cerita ini cepet update. Cukup klik bintang dibawah, comment seikhlasnya, share ke temen2 yang lain, dan follow authornya.
Dasar *author ngemis :p
***
Aku berjalan gontai ke kamarku. Ini sudah pukul sebelas malam, dan Bunda pasti sudah tidur. Aku terlambat pulang dari kajian karena percakapan tegang dengan Reza. Aku memang belum bisa melupakan sakitnya, tapi aku tetap tidak suka percakapan yang membuatku mengungkitnya. Ada hal-hal yang tidak perlu diingatkan kembali meski semuanya sudah selesai. Karena beberapa yang sudah berlalu masih ada yang meninggalkan sakit.
Aku mengernyit heran mendapati lampu kamarku terang benderang. Seingatku tadi pagi sebelum pergi sudah kumatikan. Bunda juga tidak pernah menghidupkannya kalau aku pergi. Atau mungkin, tadi pagi aku memang lupa mematikannya?
"Sudah kubilang jangan menggunakan tas itu kalau ada aku," seru seseorang saat aku menjatuhkan tas ku sangking terkejutnya setelah membuka pintu kamarku.
Ada Wilona disana. Yang dengan santai memainkan ponselnya diatas kasurku seraya merapikan masker kecantikan berwarna putih yang menutup wajahnya. Wajahnya memang terlihat jadi menyeramkan, tetapi seharusnya aku tidak perlu terkejut. Aku sudah berulang kali melihat pemandangan seperti itu. Aku hanya tidak menyangka dia ada disini. Setelah sikap yang tadi pagi dia tunjukkan padaku.
"A-aku nggak tau kamu disini," seruku lirih dengan nada gugup yang tidak bisa ku sembunyikan. Biasanya aku balik menggodanya saat dia marah karena aku menggunakan tas pemberian mantan pacarnya yang kupungut setelah dia membuangnya. Tapi aku terlalu terkejut dan bahagia secara bersamaan. Wajah yang tadi pagi suram itu sudah terlihat biasa. Seolah tidak ada kejadian berarti diantara kami sebelum ini. Aku lega, tapi sedikit takut karena perubahannya terlalu tiba-tiba.
"Kamu ada acara apa sampai pulang larut malam gini?" tanyanya benar-benar terdengar biasa. Aku bahkan sempat mencubit tanganku untuk memastikan ini bukan mimpi.
"Ada kajian tadi. Terus ngobrol bareng Sabrina," sahutku masih setengah linglung.
"Kajian? Kok kamu nggak mengajakku?" tanyanya kesal. Aku mengerjap beberapa kali. Antara tidak menyangka dengan responnya dan bingung harus menjawab apa.
"Aku..."
"Santai aja," sela Wilona. "Aku bercanda. Kalaupun diajak, aku mungkin nggak bisa datang."
"Kenapa? Butik ada masalah?" tanyaku tiba-tiba khawatir.
"Nggak. Justru keadaannya terlalu baik sampai karyawanku kewalahan. Makin banyak tawaran kerja sama, aku juga mulai membuka situs online untuk penjualannya. Pengunjung juga nggak pernah sepi. Sepertinya aku harus buka lowongan pekerjaan." Aku belum pernah sesenang ini mendengarkan cerita Wilona. Dia benar-benar tidak mengungkit masalah kami.
"Alhamdulillah, syukurlah. Aku ikut senang," sahutku menanggapi. Aku belum sepenuhnya sadar dengan apa yang terjadi untuk memberikan tanggapan heboh yang biasanya membuat percakapan kami menyenangkan.
"Yaudah sana mandi, gih! Biar cepat istirahat," katanya seraya melempar handuk disampingnya yang segera kutangkap.
"Hmm... Aku mandi dulu." Aku segera masuk kamar mandi. Ada beban berat yang seolah luruh seketika.
***
Beruntung ini hari minggu. Biasanya aku memang memilih untuk tetap bergelung dibawah selimut seraya menggulir layar ponselku. Tapi aku benar-benar lapar. Aku melewatkan jam makan malamku karena sudah terlalu kenyang dengan pembahasan berat dengan Reza semalam.
"Kamu tega banget makan nasi goreng dengan topping sebanyak itu, didepan orang yang cuma bisa makan makanan hambar," protes Wilona saat aku meletakkan sepiring nasi goreng diatas meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
The One That Got Away
EspiritualSebaik apapun mereka, aku hanya bisa memilih satu, atau menyakiti keduanya. Karena aku tidak bisa menjadikan dua matahari sekaligus dalam satu langit. Hanya akan ada satu yang bersinar, membagi banyak cercah hangat cahayanya untukku. Tapi bagaimana...