Part 26

1.2K 139 26
                                    

Holaaaa... Makasih banyak yaaa, yang kemaren udh vote dan comment... Kalian terbaiiiiiiik... Aku jadi semangat ngetik.

Jangan lupa vote dan commentnya lagi yaaaa... Please...

***

Selepas jam kantor habis, aku diajak Wilona makan malam bersama. Aku tahu dia mengajakku dalam rangka merayakan malam tahun baru seperti saat kami masih jahiliyah dulu. Aku sudah menolaknya. Tapi lihatlah! Dia sampai menjemputku untuk memastikan aku tidak akan menggagalkan rencana kami seperti sebelumnya karena faktor cuaca. Meski tidak hujan, tapi langit masih mendung. Hawa dingin juga masih menyergap. Aku sebenarnya lebih ingin merebahkan tubuh daripada hangout bersama.

Aku baru saja membenahi jilbabku yang agak berantakan setelah mengenakan hoodie, saat Wilona melambai dari balik kaca mobilnya yang dibiarkan terbuka setengahnya. Aku tadi sudah melepaskan hoodie itu dan berniat tidak akan memakainya lagi, tapi aku memang bukan tipe orang yang bisa bersahabat dengan udara.

"Sudah kubilang, aku tidak mau merayakan malam tahun baru. Tidak ada perayaan di awal ataupun akhir tahun. Yang ada hanyalah umur kita yang makin berkurang, dan ajal kita yang kian dekat," cerocosku tanpa jeda setelah aku berhasil memasang sabuk pengaman dalam mobilnya.

"Ihh kamu tuh, baru juga ketemu pembahasannya langsung mati aja," keluhnya sebal. Ini memang pertemuan pertama kami setelah dia berlibur ke Eropa selama long weekend kemarin.

"Karena kematian itu sebaik-baik pengingat."

"Iya... Iyaaa... Tenang saja! Aku sampai menahan kantuk untuk menonton tuntas semua video yang kamu kirimkan tentang larangan merayakan malam tahun baru. Ini makan malam biasa. Kita udah lama nggak hangout bareng. Kamu memang nggak kangen aku?" Wilona membuka tutup matanya sok imut. Sedangkan aku membuat gerakan seolah ingin muntah. Lalu tawa kami berderai seketika. Sudah kubilang, kami adalah dua sahabat yang tidak terbiasa dengan ungkapan-ungkapan manis yang menggelikan seperti rindu.

“Kita serius mau makan diluar?” tanyaku memastikan.

“Memang kenapa?”

“Takut keburu hujan. Mendingan kita pulang ke rumahku. Masakan Bunda nggak kalah enak sama menu-menu restaurant, kan?”

“Baru mendung, kok,” jawabnya santai tanpa menoleh ke arahku. Dia fokus menyetir, mencari celah diantara kemacetan Ibukota yang mengular. Siap hidup di Jakarta memang harus siap menua di jalanan.

“Itu tandanya mau hujan, kan?” Aku segera mengecilkan AC mobil Wilona, setelah merapatkan hoodie yang kupakai. Untung saja tadi pagi aku tidak terus-terusan sok jual mahal untuk menerimanya.

“Belum tentu. Aku kasih tahu, Ka. Cuaca sekarang kayak jomblo labil sepertimu.”

“Apa?” Aku tidak terima. Aku memang jomblo, tapi aku merasa punya pendirian teguh. Kalau aku labil, aku sudah pasti menerima kembali Reza tanpa pikir panjang. Atau dengan mudah membuka hati untuk Elzan.

“Rasanya baru kemarin kamu memutuskan untuk tidak mau berhubungan dengan Reza, tapi sekarang kamu memakai hoodie miliknya. Hoodie itu miliknya, kan? Aku pernah melihat fotonya memakai itu di ponselmu.” Aku memutar bola mata jengah. Jadi hanya karena hoodie ini aku dibilang labil? Dulu sekali aku memang pernah memperlihatkan foto Reza yang kuambil diam-diam saat tidak sengaja melihatnya di toko buku. Itu masa-masa jahiliyahku.

“Ya. Lalu kenapa? Aku masih rasional. Memakai hoodie milik mantan calon suamiku tidak lebih mengerikan daripada mati kedinginan. Gengsiku masih realistis, daripada mereka yang membuang semua barang mantan pacarnya selepas hubungan mereka kandas.”

“Kamu menyindirku.” Wilona melempar boneka kecil hias dari atas dashbord mobilnya ke arahku kesal. Dan tawaku justru makin berderai. Itu memang benar. Dia adalah makhluk paling boros setelah putus cinta. Belum lagi setelah membuang habis barang pemberian mantan, biasanya dia akan menggila dengan berbelanja demi menghibur diri.

The One That Got AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang