Haaaaiiii, jangan timpukin aku yaa karna baru muncul 😌 Lagian janjiku kan setelah vote nya sampe 100 eheee... Makaciiii banyak buat yg udah vote dan comment di chapter kemaren 🤗😘
Chapter ini aku persembahin buat FadilahShofi yang konsisten nodong aku di DM, comment instagram, status WA, padahal masih sama2 riweuh sama tumpukan tugas onlen yang nyaris serupa kasih ibu 😂
Dan tentunya buat semua orang yg konsisten vote dan comment buat nyemangatin akuuuu 😘😘😘
Hepi riding gaes, semoga cerita ini bisa nemenin kalian selama #dirumahaja
***
Semua orang menyalahkanku. Tanpa mau bertanya lebih jauh dan bersabar lebih banyak alasan dibalik keputusan yang kubuat. Aku sudah cukup hancur karena terpaksa melakukan ini. Dan sekarang, aku juga harus menanggung kebencian dan binar mata terluka dari orang-orang yang kucintai. Semua orang tiba-tiba seolah mengutukku, dan percaya begitu saja bahwa aku sejahat itu. Kecuali laki-laki ini. Yang tengah memerhatikanku yang lumayan kesulitan memegang cermin sekaligus mengobati luka kecil di ujung bibirku. Aku bisa melihatnya ikut meringis saat aku mengaduh tanpa sadar.
“Ucapan Bunda, jangan diambil hati, ya,” katanya. Sempat sekali dia memerhatikanku, seolah dia bisa dengan mudah mengabaikan kata-kata jahatku padanya.
“Makasih, obatnya,” kataku seraya mengembalikan kotak obat miliknya. “Aku akan mengganti biaya percetakan undangan yang sudah terlanjur dicetak.”
“Nggak perlu, aku yang sengaja mencetaknya. Lagipula nggak ada yang akan dibatalkan,” tegasnya yakin sekali.
“El,” seruku putus asa. Aku sudah tidak punya cukup tenaga untuk terus menerus menegaskan keputusanku yang satu itu. Aku tidak akan bertindak sejauh ini kalau akhirnya nggak ada yang dibatalkan.
“I know you so well,” katanya lagi. Dengan nada yang membuat mataku makin panas. “Aku tau ada sesuatu yang coba kamu tutupi, dan aku bersedia menunggu sampai kamu siap membukanya.”
“Jangan menunggu. Aku nggak akan berjanji apapun padamu.”
***
Nggak ada yang tau pasti jalan hidup ini. Saat menghadap kedepan, seolah jalannya mulus dan lurus. Tapi saat melewatinya, bisa jadi terjal, berliku, bahkan buntu. Ada saat-saat dimana kamu tiba di persimpangan jalan, terlanjur memilih satu arah diantaranya lalu tersadar ini bukan jalanmu. Mungkin seperti itulah langkahku sekarang. Tengah berbalik ke arah sebelum aku memilih tujuan yang ternyata salah.
“Milka?” seru seseorang setelah aku berhasil membuat simpul terakhir pada sepatu ketsku. Segerombolan anak kecil mulai berhamburan dari dalam masjid, membawa Al qur’an di tangan mereka. Aku memang sengaja mampir untuk shalat ashar disini. Lalu terduduk lumayan lama di teras masjid.
“Hai, Assalamu’alaikum,” sapaku setelah mendongak dan mengenali wanita itu. Sabrina.
“Wa’alaikumussalam warahmatullah,” balasnya. Dia segera duduk sejajar disampingku.
Tiba-tiba matanya menyipit, memerhatikan ujung bibirku. Membuatku tersadar bahwa ada luka disana. “Bibir kamu kenapa?”
Aku meringis kecil. “Bukan apa-apa.”
“Matamu juga,” tambahnya. Aku segera mengusap kelopak mataku. Aku tidak tahu ada apa disana, karena belum sempat melihat cermin. Tapi kurasa, aku tahu ada bengkak yang terlihat jelas disana. Kepalaku rasanya juga masih pusing akibat menangis terlalu lama.
“Kamu pernah nggak sih, merasa kalau hidup ini terlalu melelahkan? Sampai rasanya ingin berhenti,” kataku parau, seraya menatap sekumpulan burung yang pulang senja. Lalu perlahan menghilang, tertutup kubah masjid yang berkilau tertimpa mega merah yang mulai muncul.
KAMU SEDANG MEMBACA
The One That Got Away
SpiritualSebaik apapun mereka, aku hanya bisa memilih satu, atau menyakiti keduanya. Karena aku tidak bisa menjadikan dua matahari sekaligus dalam satu langit. Hanya akan ada satu yang bersinar, membagi banyak cercah hangat cahayanya untukku. Tapi bagaimana...