EPILOG

983 103 53
                                    

Please, let's respect, dan saling menghargai dengan meninggalkan vote dan comment. Thank you :)))

New story... Soon...

***

Sudah beberapa bulan ini, aku punya pemandangan sederhana yang anehnya sangat menenangkan setiap pagi. Seharusnya aku sebal karena di bangunkan sebelum puas menikmati tidurku yang baru tiga jam saja berlalu. Dengan gontai harus berjalan untuk bersiap ke masjid melaksanakan shalat subuh, diiringi omelan wanita yang kini tengah asyik sendiri menyiapkan sarapan untukku. Istriku. Dia pasti tidak sadar suaminya tengah memerhatikannya.

Milka yang tetap cantik meski dengan rambut di cepol asal, dan baju tidur bergambar kumpulan biota laut dengan spons berwarna kuning yang menjadi centre di tengah, dengan rumah nanas di belakangnya yang mulai pudar. Belum lagi wajah dengan cetakan bantal dan nyawa yang sepertinya belum terkumpul sepenuhnya, sembari menguap lebar beberapa kali. Terkadang terdengar celetukan ayat yang tengah dihapalnya, lalu tiba-tiba memukul kepalanya sendiri saat tiba-tiba lupa dan tidak bisa melanjutkannya lagi. Ya Allah... betapa menggemaskannya makhluk ciptaan-Mu ini. Dan... cantik. Selalu.

"Lho, sudah selesai baca Al-Qur'an nya?" tanyanya dengan raut terkejut saat berbalik dan mendapatiku.

Aku mengangguk, lalu mendekat. Aku nggak mungkin berani datang mendekatinya kalau belum selesai mengaji, kecuali mau mendapat kuliah subuh tambahan dari istriku yang cantik ini. "Masak apa?"

"Masak nasi goreng," sahutnya sembari memasukkan potongan kecil wortel kedalam wajan. "Nanti siang aku mau ke tempat Umi buat bantu-bantu. Ada acara pengajian nanti malam. Boleh, ya?"

Nadanya bertanya, tapi aku tau dia akan membujukku setengah memaksa untuk bilang iya. "Aku nggak mau kamu sedih," ungkapku.

Hubungannya dan Ibu kandungku belum terlalu baik, tapi Milka selalu berusaha yang terbaik untuk mengambil hatinya. Aku sudah beberapa kali melarang, bahkan mengamuk. Kami sempat terlibat perdebatan besar setelah pernikahan kami yang masih seumur jagung. Aku nggak suka melihatnya sedih setelah pergi kesana. Aku nggak suka dia memaksakan diri seperti itu. Karena beliau nggak bisa menerima Milka seutuhnya meski akhirnya mengizinkan kami menikah, aku jadi nggak bisa menerimanya juga kembali dalam hidupku. Sebagai Ibuku. Ya, aku nggak tau harus memutus lingkaran ini darimana. Aku nggak sanggup memulai kalau wanita itu nggak bisa mengakhiri kenangan pahit masa lalu kami. Dan akhirnya, wanita yang tengah mengaduk nasi dalam wajan itu yang jadi korbannya.

Milka mematikan kompor, setelah mencicipi masakannya seujung sendok. "Kita tetap nggak bisa memutus silaturahmi begitu saja. Kamu tahu, kan, itu nggak boleh?" tegasnya setelah berbalik menghadapku sepenuhnya.

"Asal kamu nggak sedih?" kataku ragu. Aku ingin menjadikannya syarat, tapi aku tau Milka nggak akan mampu memenuhinya kalau wanita itu nggak bisa bersikap menyenangkan padanya. Wajahnya mungkin bisa berpura-pura untuk memenuhi syaratku, tapi aku nggak tau hatinya.

Milka tersenyum kecil seraya meraih dua piring. "Asal kamu bisa menyempatkan ikut kajian nanti malam? Kalau ada kamu, pasti perasaanku jauh lebih baik," katanya mengajukan syarat balik padaku.

Aku meringis. Akhir-akhir ini jadwal kajianku memang berantakan. Aku sadar akhir-akhir ini mulai futur. Terlalu berkonsentrasi dengan urusan duniaku, sampai lalai urusan akhiratku. "Kita lihat nanti, ya. Lagi banyak pekerjaan. Sepertinya aku akan lembur lagi."

"Ih, kan!!! Kamu udah lama lho, nggak pernah ikut kajian lagi," protesnya dengan bibir mengerucut lucu. "Jangan gitu, ikut kajian itu membantu kita biar nggak cepat futur, kan? Udah berapa malam coba kamu lewat shalat malamnya? Subuh aja masbuq melulu kalau nggak aku bangunin," lanjutnya lagi seraya berbalik untuk menuangkan nasi ke piring yang baru saja diambilnya.

The One That Got AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang