Haii, maap ya baru muncul. Masih syawal kan? Taqobbalallahu minna wa minkum yaa... Maapkeun aku yg lama nggak publish cerita ini, wkwk
***
Terkadang sebuah kata-kata seseorang mampu membuat kita menjadi seperti baru saja terbangun dalam kegelapan. Tanpa cahaya, tanpa seseorang di sekitar. Seolah ada sesuatu yang terlambat kutemukan sebelum memejamkan mata.
Ya, aku masih saja merasa seperti itu, meski sudah berhasil menghindar dari pertanyaan Elzan. Seorang karyawan yang tiba-tiba muncul mencarinya, berhasil membuat Elzan pergi sebelum mendapatkan jawabanku atas pertanyaannya yang menurutku aneh.
Aku sedang tidak ingin berprasangka. Atau menyimpan sesuatu yang suatu saat nanti bisa kujadikan bahan untuk membangun sebuah harapan. Karena aku masih terlalu sibuk membereskan harapan masalalu yang berantakan. Bahkan terkadang aku berpikir masih ingin membangunnya kembali, meski tahu pondasinya tak terlalu kokoh. Harapan-harapan yang seringkali kupaksa untuk menjadi kenyataan.
Jadi setelah jam kantor usai, aku segera beranjak pulang. Mengendap-endap, memohon dalam hati agar tak perlu bertemu Elzan. Aku bahkan sengaja memesan taksi online, jauh sebelum jam kerjaku habis. Dan menyebalkannya, taksi yang kupesan belum juga tiba. Ini memang jam pulang kerja, jadi aku harus benar-benar sabar menghadapi kemacetan ibu kota. Ditambah hujan lebat yang belum juga berhenti dari tadi siang.
“Hujan, biar kuantar pulang.” Aku kembali terlonjak kaget. Sudah ada Elzan disampingku. Aku sama sekali tidak menyadari kedatangannya. Mungkin karena terlalu serius memantau menit yang tertera pada aplikasi taksi onlineku, lengkap dengan gambar mobil yang bergerak sangat lambat.
“Saya sudah pesan taksi online, Pak,” jawabku kaku. Jantungku benar-benar berdebar, takut dia mengungkit kembali pertanyaan abstraknya tadi.
“Batalkan saja. Menunggu taksi online akan memakan waktu lama.”
“Tinggal sebentar lagi, Pak,” sahutku gemas, seraya mengangkat tinggi ponselku agar dia bisa melihat jelas layarnya. Aku tidak berbohong. Tiga menit lagi pesanan taksiku datang.
“Kalau begitu, tiga menit pasti cukup untuk menjawab pertanyaanku tadi.” Elzan benar-benar menunjukkan wajah memaksanya. Seolah dia benar-benar butuh jawaban atas pertanyaan konyolnya yang lebih cocok untuk bahan candaan.
Aku menghela napas frustasi, sebelum membaca plat no mobil yang sudah mendekat ke arahku. Persis seperti mobil yang kupesan.
“Mobil pesanan saya sudah datang, Pak. Permisi, Assalamu’alaikum.” Aku segera mengeluarkan payung hijau muda yang selalu berada di tasku. Lalu membelah rinai hujan yang masih begitu deras, membiarkan kaos kakiku tak tertolong dari genangan airnya.
“Kamu belum menjawabnya.” Seharian ini, Elzan banyak mengagetkanku. Lihatlah, kali ini dia benar-benar membuatku terkejut.
Tiba-tiba dia datang, menahan pintu mobil yang baru saja ingin kubuka. Turtleneck dengan outer berupa coat yang dipakainya sudah basah. Dia terlihat tak peduli sedikitpun dengan guyuran air hujan yang membasahi tubuhnya.
“Pak, basah,” jeritku yang sepertinya tertelan air hujan. Dia sama sekali tak peduli. Hanya sesekali mengusap wajahnya yang kuyup oleh rinai hujan. Aku tidak mungkin membiarkannya, tapi juga tidak mungkin berbagi payung dengannya. Elzan benar-benar terlihat kekanak-kanakan.
Akhirnya aku mengarahkan payung itu keatas kepalanya. Biarlah aku yang basah. Aku tidak mungkin membiarkan saja Elzan yang basah kuyup, hanya karena bersikeras dengan pertanyaan konyolnya.
“Aku akan tetap seperti ini, sebelum kamu menjawab pertanyaanku,” desisnya lirih. Dia menahan gerakan tanganku yang ingin melindunginya dengan payungku. Terlalu tiba-tiba, sehingga aku reflek melepas payung itu. Dan kini, payung itu sepenuhnya sudah berada di tangan Elzan. Memayungiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The One That Got Away
SpiritualSebaik apapun mereka, aku hanya bisa memilih satu, atau menyakiti keduanya. Karena aku tidak bisa menjadikan dua matahari sekaligus dalam satu langit. Hanya akan ada satu yang bersinar, membagi banyak cercah hangat cahayanya untukku. Tapi bagaimana...