Part 37

861 140 20
                                    

Aku sengaja update 2 part (36-37) sebagai bentuk permintaan ma'af.

Jadi, please... Let me know how much your support for me... Hehe...

Happy reading...
please vote dan comment yaaa... ❤

***

Malam ini terasa sunyi. Pedagang mie ayam dan bajigur yang biasanya berjualan di sisi pagar rumahku pun tak terlihat. Yang ramai justru jantungku yang bertabuh, padahal sudah berdiri lumayan jauh dengan seseorang yang kini bahkan tidak menatapku.

"Terimakasih, kejutannya," ujarku akhirnya, setelah membisu beberapa menit. "Tapi aku kurang menyukai kejutan. Kuberi tahu sekarang, agar tidak akan ada lagi kejutan-kejutan lain yang lebih besar."

Elzan menegakkan badannya yang semula bersandar pada tiang yang cukup besar di teras rumahku. "Seharusnya ini nggak mengejutkanmu. Aku sudah bilang di kantor tadi," kelit Elzan dengan nada terlalu santai. Pandangannya lurus ke depan, seolah tengah mengamati dedaunan pohon jambu yang juga tengah berbunga.

"Seingatku, biasanya orang melamar setelah keduanya sepakat untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Dan aku nggak ingat pernah sepakat tentang itu dengan seseorang."

"Nggak ada solusi terbaik bagi dua orang yang saling mencintai selain menikah, kan?" tanya Elzan serius. Aku tidak tahu sudah sejauh apa dia belajar, tapi ucapannya kali ini membuktikan pengetahuannya soal islam. Dia bukan lagi Elzan yang bicara padaku saat pertemuan pertama, bahwa menikah sebelum ada hubungan apapun itu 'aneh'.

"Butuh dua hati untuk saling mencintai, kan?" tanyaku. Meski menunduk dan pura-pura sibuk mengamati corak lantai keramik, aku tahu kini dia menatapku.

"Aku mencintaimu," katanya lugas. Aku ikut menatapnya refleks. "Dan menurutku, kamu juga mencintaiku."

"Menurutku, kamu terlalu percaya diri," sergahku cepat meski tahu ucapannya benar. Aku percaya perasaanku, tapi tidak dengan perasaan Elzan yang kutahu hanya lewat sebatas kata-katanya saja. Ada banyak jenis perangkap laki-laki, dan yang paling sering mereka gunakan adalah 'kata-kata manis' belaka.

Elzan mendekatiku beberapa langkah, meski masih memasang jarak diantara kami. "Aku berani mengambil langkah sebesar ini, karena tidak ingin mengulang lagi perdebatan kita dari awal. Jadi tolong, kalaupun kamu nggak bisa jujur padaku, setidaknya jujurlah pada hatimu," terangnya dengan nada mulai putus asa karena aku terus berkelit. Ya, lamaran ini memang langkah besar. Amat besar.

Aku tidak segera menjawab. Ada jeda yang sengaja kuambil untuk menenangkan diri. "Apa harus sejauh ini membuktikan kata-kataku?"

"maksudmu?" tanya Elzan dengan raut wajah yang mulai terlihat geram.

"Kamu mendekatiku hanya untuk mematahkan kalimatku soal wanita muslimah yang nggak akan tertarik dengan sikap manis dan obralan janji, kan? Sekarang kamu mau membuktikan juga kalau cara terbaik mendekati muslimah itu dengan langsung melamarnya seperti ini?"

"I'll admit it's my fault, but you gotta believe me," ujarnya memohon, seraya mengurut keningnya frustasi. "Niat awalku mendekatimu memang untuk mematahkan semua kalimat itu. Karena aku nggak percaya pada teori-teori yang menurutku konyol saat itu. Tapi ada hal-hal yang berubah tanpa rencana. Beberapa perubahan terkadang masih bisa membuatmu tetap di rencana awal, beberapa yang lain justru berbanding terbalik. Termasuk perasaanku. Ini akan terdengar seperti alasan, tapi sekarang perasaanku benar-benar tulus," jelasnya meyakinkanku.

"Kenapa kamu nggak menjelaskan ini dari awal?" tanyaku cepat. Aku bukan lagi remaja yang sedang dalam masa pubertas. Jadi meskipun aku akan tetap sakit hati, setidaknya penjelasannya membuatku tahu bahwa kebenciannya dulu memang sudah benar-benar berubah menjadi cinta sekarang. Tapi dia diam saja. Membuatku terus bertanya, apakah aku memang benar-benar hanya mainannya?

The One That Got AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang