Part 32

1.3K 176 79
                                    

Please vote dan comment. Yang belum follow, silahkan difollow juga. Thank youuuuu... 💓💓💓😘

Sebelum pesan diatas diindahkan, mohon jangan terlalu berharap part selanjutnya bisa up sesegera mungkin. Eheheee... *ketawa jahad

***

Aku masih bisa melihat sisa rinai hujan pada kaca restaurant Bunda disampingku. Beberapa orang masih ramai hilir mudik diluar, meski jarum jam ditanganku sudah menunjukkan pukul 10 malam.

Aku mencoba menepis tatapan tajam pria didepanku dengan mengamati apapun yang bisa mataku jangkau diluar sana. Entah pada warna warni payung banyak orang yang belum sempat dilipat meski hujan sudah reda, atau pada dedaunan yang gugur tertiup angin, atau bahkan pada sepatu orang-orang yang lalu lalang menghindari genangan air selepas hujan.

"Everything is fine. Saya cuma lagi bosan saja," jawabku akhirnya, tetap memandang apapun dibalik kaca. Elzan menghela napas bosan mendengar jawabanku yang kurasa juga kurang masuk akal.

"Bosan sampai membuatmu menangis?" tanya Elzan sangsi. Aku mengalihkan pandanganku padanya. Berharap menemukan jawaban yang mungkin bisa mengakhiri tatapannya sesegera mungkin.
Aku baru saja menemukan keberanian untuk berterus terang menjelaskan alasan sebenarnya, sebelum nada dering ponsel Elzan berbunyi nyaring.

"Sebentar," ucapnya sungkan. Aku sempat melihat nama kontak si penelpon sebelum Elzan mengangkatnya. Renata. Dan entah kenapa, aku makin kesal.

"Halo?" katanya setelah panggilan tersambung. "Aku keluar sebentar," pamitnya padaku tak lama kemudian, seolah apa yang akan mereka bicarakan tidak patut kudengar. Ya, aturan mainnya memang begitu kalau saja aku belum mendengar soal permainanya pada perasaanku. Dia berusaha sekeras itu menutupinya dariku.

Aku tidak tahu mereka berbincang selama apa, tapi Bunda keluar seraya membawakan bibimbap tepat saat Reza masuk kembali ke dalam restaurant.

"Nak Elzan darimana?" tanya Bunda.

"Habis angkat telpon, Tante," jawabnya kikuk.

"Oh gitu?" sahut Bunda terdengar memaklumi. "Ini. Resepnya ada tambahan sedikit, jadi seharusnya lebih enak dari yang waktu itu." Bunda meletakkan mangkuk batu berisi bibimbap yang beliau bawa diatas meja. Bibimbap memang disajikan diatas mangkuk batu yang sudah dipanaskan, sampai bisa membuat telur yang diatasnya matang.

Selain aromanya yang menggiurkan, bibimbap juga dihiasi banyak toping sayuran warna-warni yang disusun dengan cantik. Bahan untuk campuran nasi pada hidangan ini juga memiliki banyak simbolis yang disusun sesuai warna dan arah mata angin. Selain itu campuran yang ada memiliki manfaat tersendiri. Seperti bahan berwarna coklat atau hitam yang melambangkan utara dan ginjal berasal dari jamur shintake dan pakis. Merah atau orange yang melambangkan selatan dan hati disusun dari cabai, wortel dan buah jujube. Sedangkan timun dan bayam merupakan gambaran dari lever. Barat dan paru-paru dilambangkan dengan warna putih yang berasal dari tauge dan lobak. Terakhir kuning yang berada di tengah melambangkan perut diambil dari kentang dan telur.

Informasi ini kucari setelah Bunda menceritakan kalau Elzan sangat menyukai menu ini tempo hari. Entah ini murni karena aku penasaran apa itu bibimbap, atau aku lebih penasaran makanan semacam apa yang laki-laki dihadapanku sukai?

"Wahhh... Terimakasih, Tante. Aku selalu merepotkan kalau kesini." Bunda menggeleng seraya tersenyum tulus. Raut wajahnya tidak bisa menipu harapan besarnya pada laki-laki bermuka dua yang tengah mempermainkan perasaan putrinya itu.

"Bun, aku keluar sebentar yaa. Mau ke minimarket beli sesuatu." Selain untuk menghindari Elzan, aku tidak sepenuhnya berbohong. Aku memang membutuhkan sabun pencuci muka agar kulit wajahku ini tidak makin kusam dan menua sebelum waktunya. Beban hidupku akhir-akhir ini sudah cukup menyiksa.

The One That Got AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang