Part 47

998 129 92
                                    

Detik-detik menuju last chapter. Semakin banyak vote dan comment nya, semakin cepet update nya. Jadi, yaaa... you know what you must to do :)))))) Don't read so run... Please...

***

Seperti mencabut duri yang terlanjur menusuk dalam daging. Menyakitkan, tapi kita harus melakukannya untuk sembuh. Nggak peduli meski harus berdarah. Seperti itulah yang tadi coba kulakukan. Memberitahu Bunda semuanya.

Nggak jauh seperti apa yang kuduga, Bunda tentu saja terguncang. Aku butuh waktu yang lama untuk menenangkannya, sampai akhirnya kami bisa tertidur juga. Di kamarku.

Aku mengerjapkan mata yang masih berat, saat menyadari sisi kasurku yang lain kosong. Harusnya Bunda ada disana sekarang. Aku ingat sekali sempat membenahi selimut Bunda, sebelum akhirnya ikut berbaring di sampingnya. Memeluk tubuhnya yang mulai renta.

Dengan mata yang belum terbuka sepenuhnya, aku melirik arah jarum jam diatas nakas. Jam dua pagi. Bunda kemana? Pindah ke kamar beliau, kah?

Dengan langkah terseok, aku menuju kamar Bunda. Tapi tidak mendapati Beliau ada disana. Aku baru saja ingin mengecek kamar mandi, sebelum akhirnya suara air dari dispenser mengalihkan perhatianku. Aku segera menuju dapur.

Sesampainya disana, kedua kakiku mendadak lemas. Tanganku gemetar. "Bunda, jangan begini! Milka mohon," raungku seraya berusaha merebut cangkir berisi cairan pembasmi nyamuk yang baru saja Bunda tuangkan ke dalam gelas.

Bunda menjauhkannya dari tanganku. "Biarin Bunda mati," pekik Bunda pilu. Rambutnya berantakan, wajahnya pucat dan penuh airmata. Sakit sekali aku melihatnya.

Aku segera meraih gelas itu saat tangis Bunda makin menjadi, dan tubuhnya lemas. Lalu melemparnya asal, hingga suara pecahan kaca memenuhi ruangan. "Jangan gini, Bun," pintaku tergugu seraya menggenggam kedua telapak tangannya.

"Lepas!!!" seru Bunda. "Bunda cuma bisa bikin hidup anak Bunda hancur, jadi buat apa lagi hidup?"

"Nggak, Bun. Coba sekarang Bunda lihat Milka," kataku mencoba membuat Bunda melihatku. Agar beliau paham aku justru makin terluka melihatnya begini. "Siapa bilang hidupku hancur?" tanyaku lirih.

Bunda menatapku cukup lama. Seolah ada percakapan yang cukup diterjemahkan hanya lewat kedua mata kami. "Kamu nggak bisa bohongin Bunda."

"Milka jujur, Bun. Bohong kalau hati Milka nggak sakit dan tetap baik-baik saja, tapi bukan berarti hidup Milka hancur." Aku mencoba meraih tangan Bunda yang masih gemetar. Banyak keringat dingin di pelipis beliau. "Bunda, nggak semua yang berakhir itu berarti telah hancur, pada sebagian cerita, justru menjadi awal baru yang lebih baik. Saat sebuah ranting yang sudah cukup rapuh patah, tumbuh ranting lain yang lebih muda dan kuat, kan?"

Bunda mengangguk lemah, bersamaan dengan air matanya yang luruh. "Maafin Bunda, Nak," pintanya memelas padaku. Tangisnya benar-benar pecah.

Aku memeluknya makin erat. Sungguh, aku nggak ingin kehilangan Bunda. "Ini bukan salah Bunda. Ini masalah jodoh. Mungkin aku memang bukan yang terbaik untuk Elzan, dan begitu juga sebaliknya. Aku yakin selalu ada hikmah dibalik setiap peristiwa. Sekalipun air mata."

"Tapi ini udah dua kali, Nak. Bagaimana kalau ini karma? Bunda takut. Bunda yang bersalah, harusnya Bunda saja yang menderita."

"Sttt... jangan bilang begitu, Bunda. Milka justru makin sedih dengarnya, ya?" hiburku lagi. "Bunda kan sudah menyesali perbuatan Bunda, nggak mengulangnya, dan terus berusaha jadi yang lebih baik. Kata Rasulullah SAW, sebaik-baik orang yang banyak salah dan dosa itu, mereka yang selalu bertaubat dan kembali pada Allah. Jadi Bunda jangan menyalahkan diri terus, ya?"

Bunda nggak mengangguk ataupun menggeleng. Beliau justru mengusap anak rambutku yang berantakan, lalu mengelus pipiku lembut. Airmataku jatuh di telapak tangannya. "Tapi kamu harus bahagia, ya," seru Bunda lirih.

The One That Got AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang