part 14

1.8K 203 39
                                    

Selain author, aku juga pembaca di dunia wattpad, meski di akun yang berbeda. Aku tahu nungguin author yang lama update itu ngeselin banget. Rasanya kayak digantungin tanpa kepastian -_-

Tapi kalian juga harus tahu, kalo nungguin reader yang pelit vote dan comment itu jauh lebih ngeselin lagiiii guysss! Ditambah reader yang suka protes dan nodong cepet update dengan bahasa yang kurang menyenangkan -_-
Coba aja! Kamu nggak akan kuattt!! 😂😂😂

Dunia wattpad itu selingan, aku masih punya dunia nyata yang harus aku nikmati meski nggak sepenuhnya menyenangkan. Jadi tolonglah, mari kita saling membahagiakan, biar nggak kayak Milka-Reza yang kerjaannya saling menyakiti 😂 Kamu murah vote dan comment, aku semangat ngetik next chapter. Pencet tanda bintang dibawah itu nggak akan sulit kok, aku juga nggak minta comment sepanjang tiap chapter yang kutulis juga, kan? HAHAHA

***

Masih ada sisa nada isak tangis putus-putus yang kukeluarkan, saat salah satu santriwati mengetuk kamar asrama Sabrina. Aku kembali mengusap airmataku yang terus mengalir meski sudah sekuat tenaga aku hentikan. Percakapan panjang dengan Reza benar-benar menguras ketegaranku. Seharusnya tidak akan sesulit ini, kalau saja aku punya tekad kuat untuk bersikap tegas mengakhiri ini semua, atau berani menelan harga diriku untuk memperjuangkan kembali pernikahan kami. Tapi menyebalkannya, hatiku bimbang. Aku tidak lantas cukup tegas untuk pergi menjauhi Reza, meski sadar tidak akan kuat menahan sakit hati jika tetap bertahan melanjutkan apa yang hampir kami mulai.
Sabrina beranjak dari hadapanku untuk membuka pintu, setelah berusaha menenangkan dengan mengusap pundakku. Aku sedang tidak ingin berpura-pura tegar bahwa aku kuat, jadi aku tetap membekap wajahku dengan kesepuluh jari. Memaksa tangisku untuk segera berhenti ternyata membuat dadaku benar-benar sesak.

“Oh iya, terimakasih yaa,” kata Sabrina ramah, sebelum menutup pintu kembali dan berbalik arah padaku.

“Katanya, Ustadz Rizal memanggilmu.” Aku mendongakkan wajah seketika. Pasti soal pengunduran diri yang tadi pagi kuajukan. Ini bukan waktu yang tepat. Selain wajahku yang sudah berantakan karena airmata, hatiku juga belum siap mengambil keputusan. Ungkapan perasaan Reza padaku yang terang-terangan, sama sekali tidak membantu. Justru membuatku semakin berat untuk melangkah menjauhinya. Seharusnya pengakuannya tadi membahagiakan seperti yang pernah kuimpikan dulu, tapi kenyataannya aku justru menangis seperti ini. Aku yang menyedihkan.

“Oh iya, ini ada titipan dari anak-anak tadi. Mereka pasti senang kamu kembali.” Sabrina mengulurkan satu kantong plastik kearahku. Aku segera mengambilnya.

Selamat datang kembali, Ibu Mikaaa. Kita kangeeeen!!! Yeayyy... bisa belajar komputer lagiii.”

Aku tersenyum diantara isak tangisku yang mulai mereda, setelah membaca satu surat kecil yang mereka tulis. Ada kotak makan berisi roti tawar yang sudah mereka hias selucu mungkin dengan coklat diatasnya, membentuk smile emoticon. Lengkap dengan sekuntum mawar merah layu yang sepertinya beberapa jam lalu mereka petik dari taman pesantren. Anak-anak yang menggemaskan.
“Mau aku temani?” tanya Sabrina lirih, dengan nada prihatin. Aku menggeleng seraya tersenyum hambar, lalu kembali meraih beberapa lembar tissue untuk mengeringkan wajah. Aku sudah berusaha membasuh wajahku, tapi jejak-jejak air mata dan kesedihan sepertinya tak mudah pudar dari sana.

“Maaf yaa, merepotkanmu,” cicitku. Aku belum berani berbicara lebih banyak, karena entah mengapa, aku merasa ingin menangis lagi setiap membuka mulut.

“Kamu bicara apa, sih?” sahut Sabrina, seraya memelukku dan menepuk punggungku pelan. Meski tersenyum, aku tahu kedua mataku sudah kembali menggenang. Takut terbawa suasana dan merusak penampilanku yang baru saja kuperbaiki, aku segera menguraikan pelukan kami.

The One That Got AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang